Header Ads

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Eko Rahmanto, S.Ud

A.        PROSES PENCIPTAAN MANUSIA
Berkaitan tentang ayat-ayat yang berbicara tentang manusia, ditemukan banyak ayat al-Qur’an yang secara tersirat memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Ayat-ayat yang ada, perlu dilakukan kajian atas kandungan makna secara menyeluruh sehingga dapat menjelaskan tentang bagaimana manusia, proses kejadiannya, dan maksud, tujuan serta fungsi penciptaannya.
Kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang manusia, dikaji dengan menggunakan pendekatan kebahasaan yang meliputi pemilihan kata yang digunakan dan juga struktur kalimat yang digunakan. Selain itu, penjelasan dari para ulama tafsir dan penjelasan-penjelasan dari para pakar pun juga perlu dijadikan rujukan dalam mengambil inti sari dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an tentang manusia. 
a.          Proses Penciptaan Manusia
Dalam pandangan ilmu sains modern, manusia terbentuk dari adanya proses pertemuan antara sel kelamin jantan (sperma) dan sel kelamin betina (ovum) dengan proses yang sangat panjang.
Menurut al-Qur’an, proses penciptaan manusia dengan sebutkan dengan bahan baku yang sangat beragam. Disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, manusia dicipta dari sholsholin min hamain masnun, dan disebut pula dengan sholsholin kal fakhkhor. Dalam ayat yang lainnya, disebut pula manusia diciptakan dari thin. Kemudian, disebutkan pula dalam kata yang lain, manusia diciptakan dari nuthfah. Disebutkan pula bahwa manusia diciptakan dari ma-in dafiq. Kemudian, disebut pula manusia diciptakan dari ‘alaq.
Jika tidak dicermati dengan baik, seakan-akan manusia diciptakan dengan bahan baku yang berbeda-beda. Namun, sebenarnya antar ayat tersebut memiliki korelasi (munasabah) yang saling menjelaskan dalam kaitannya tentang proses produksi dan reproduksi. Ayat-ayat diatas, juga menjelaskan secara detail dengan komposisi unsur jasad pada manusia yang dengan unsur-unsur tersebut dengan segala sifat-sifatnya, menjadikan manusia menjadi makhluk yang sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam Q.s. al-Tin ayat 4. Berikut ini penjelasan ringkas tentang bahan baku penciptaan manusia sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an.
1.          Sholshol
Diantara ayat yang menyatakan manusia diciptakan dari sholsholin min hamain masnun, adalah surat Al-Hijr : 26, 28, dan 33. Sedangkan kalimat sholsholin kal fakhkhor, disebut pada Q.s. al-Rahman: 14.
Dalam Q.s. al-Hijr: 26, manusia disebut dengan lafadz “al-Insan”.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٢٦
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Sedangkan pada ayat 28, manusia disebut dengan lafadz “Basyarun
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٢٨
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk
Begitu pula di ayat 33, disebutkan
قَالَ لَمْ أَكُنْ لِأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٣٣
Artinya: “Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”.
Selain itu, dalam Q.s. al-Rahman: 14 menyebut manusia dengan menggunakan kata “al-Insan” yang diciptakan dari “shalshalin kal Fakhkhar
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ ١٤
Artinya: “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,
2.          Thin atau Sulalatin min Thin.
Diantara ayat-ayat yang menggunakan kata “Thin” sebagai berikut,QS.  Al-'An`am [6] : 2, QS. Al-'A`raf [7] : 12, QS. Al-Mu'minun [23] : 12,  QS. As-Sajdah [32] : 7, QS. As-Saffat [37] : 11,  QS. Sad [38] : 71,  QS. Sad [38] : 76.
Dari ayat-ayat yang ada, yang paling banyak digunakan adalah kata “Thin”, namun ada pula yang menggunakan lafadz “Sulalatin min Thin”. Di surat Shad: 71 disebutkan bahwa manusia disebutkan diciptakan dari “Thin”, pada ayat ini manusia digunakan kata “Basyar”,
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ ٧١
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”
Sedangkan ayat yang menggunakan kata “Sulalatin min Thin”, dapat dibaca di Q.s. al-Mukminun: 12, sedangkan manusia dalam ayat tersebut disebut dengan menggunakan kata “al-Insan”
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ ١٢
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”.

3.          Nutfah
Diantara ayat-ayat yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari “Nuthfah” adalah: QS. An-Nahl: 4,  QS. Al-Kahf : 37,  QS. Al-Haj : 5,  QS. Al-Mu'minun : 13,  QS. Fatir  : 11, QS. Ya-Sin: 77,  QS. Ghafir: 67,  QS. An-Najm: 46,  QS. Al-Qiyamah: 37,  QS. Al-'Insan: 2,  QS. `Abasa: 19. 
Salah satu ayat yang secara jelas menginformasikan tentang proses penciptaan manusia dan prosesnya adalah Q.s. al-Haj: 5 dan Q.s. Ghafir: 67
Dalam Q.s. al-Haj: 5
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّنَ ٱلْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِى ٱلْأَرْحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوٓا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرْذَلِ ٱلْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔا ۚ وَتَرَى ٱلْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا ٱلْمَآءَ ٱهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنۢبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
Sedangkan di surat Ghafir: 67
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوٓا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا ۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوٓا أَجَلًا مُّسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)
4.          Ma-in Dafiq
Kata ma-in dafiq” sebagai bahan penciptaan manusia, hanya disebutkan dalam satu ayat al-Qur’an, yaitu dalam QS. At-Tariq : 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ ٥ خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ ٦ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ ٧
Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”   
5.          ‘Alaq atau ‘Alaqah
Diantara ayat-ayat yang memberikan penjelasan bahwa manusia diciptakan dari “ ‘alaq atau ‘alaqah”terdapat di QS. Al-Haj : 5,  QS. Al-Mu'minun: 14,  QS. Ghafir: 67,  QS. Al-Qiyamah: 38,  QS. Al-`Alaq: 2. 
Dari sekian banyak ayat yang ada, yang secara tegas menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari “ ‘alaq” adalah Q.s. al-‘Alaq: 2, pada ayat itu manusia disebut dengan menggunakan kata “al-Insan”
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ٢
Artinya: “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Ayat-ayat diatas, baik yang menggunakan pilihan kata “shalshal”, “Hamain Masnun”, “Hamain kal Fakhar”, “Thin”, “Nuthfah” dan “ ‘Alaq atau ‘alaqah” semua penting untuk dilakukan kajian berkaitan dengan makna kebahasaannya, dan lain sebagainya untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. Selain itu juga perlu dikaji tentang penggunaan kata kerjanya dan penyebutan kata yang digunakan untuk menunjuk makna “manusia”. Hal itu penting karena dengan begitu, dapat dipahami secara menyeluruh tentang proses penciptaan manusia dan konteks pembahasannya.

B.         PENJELASAN TENTANG PENCIPTAAN MANUSIA.
Jika membaca secara detail ayat bersama dengan konteks pembahasannya, maka penciptaan manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu: penciptaan manusia pertama (Adam) dan penciptaan anak-cucu Adam.
Pada penciptaan Adam, disebutkan bahwa diciptakan Adam dengan pilihan kata “Sholshol”, dan Thin, tidak digunakan kata yang lain, seperti ‘Alaqah dan Nuthfah. Begitu pula, kata kerja yang digunakan semuanya menggunakan kata “Khalaqa”.
Dari sisi bahannya, Adam diciptakan dari “Shalshal” dan dari “Thin”. Kata “Shal-shal” dalam kamus bahasa Arab diartikan dengan tanah liat, tanah liat yang murni. Sedangkan kata “Fakhar” diartikan dengan barang tembikar, keramik. Kata “Thin”, memiliki banyak makna, diantaranya tanah liat, lumpur, lempung, bubur lim, adukan semen, plester, kotoran
 Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, “shalshal” adalah, tanah yang keras yang api tidak dapat melewatinya.[1] Begitu pula perkataan al-Baghawi dalam tafsirnya, bahwa shalshal adalah tanah yang padat atau keras.[2] Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ketika menjelaskan “shalshalin min hama-in masnun”ketika menafsirkan surat al-Hijr ayat 26, shalshal disamakan dengan “thin”, sedangkan kata “masnun” dipahami dengan makna “diformat atau dibentuk”. Dengan begitu, maka dipahami dengan arti manusia berasal dari tanah yang dibentuk atau dilakukan proses pembentukan. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa shalshal adalah tanah yang keras, yang dhahirnya sebagaimana disebutkan dalam Q.s. al-Rahman ayat 14-15. [3]
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ وَخَلَقَ الْجَانَّ مَن مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ  )الرحمن: ١٤-١٥(
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa makna “shalshal min hamain masnun” dengan kata “shalshal kal fakhar” memiliki makna korelasi dan saling menjelaskan satu dengan yang lainnya.
Dari sisi prosesnya, penggunaan kata “khalaqa” memiliki makna tersendiri. Kata “khalaqa” dan “ja’ala”, meskipun secara terjemah bahasa Indonesia memiliki arti yang sama, yaitu “menciptakan atau menjadikan”, namun dua kata tersebut memiliki konotasi makna yang berbeda.
Menurut Ibnu Faris, kata yang berakar dari huruf kha’, lam, qaf, asalnya bermakna taqdir al-syai’ atau mulasamah al-syai’. [4] Kata “khalaqa” mengandung makna, mencipta baik ciptaan itu telah ada yang serupa dengannya sebelum yang ini diciptakan, maupun dari bentuk baru. Berbeda dengan kata “ja’ala” yang bermakna menciptakan sesuatu, sesuatu yang lain.[5]
Dengan penjelasan lain, khalaqa digunakan untuk menunjukkan makna menciptakan sesuatu dari suatu bahan dasar sehingga terbentuk produk baru. Misalnya, menciptakan kursi dari bahan kayu. Sedangkan, “ja’ala” digunakan untuk menciptakan suatu dari sesuatu yang lain yang telah ada. Seperti: menjadikan gelang itu cincin. Dalam hal itu, gelang bukanlah bahan baku, namun dia merupakan suatu produk yang kemudian dijadikan menjadi bentuk lain.
Dengan begitu, maka dengan menggunakan kata “khalaqa” dapat dipahami bahwa kata-kata tersebut merupakan bahan baku penciptaan manusia.
Disinilah nampak jelas bahwa Allah Swt menciptakan Adam dari bahan dasar tanah yang diciptakan atau dibentuk sendiri oleh Allah Swt tanpa adanya campur tangan unsur lain.
Selanjutnya, penciptaan anak-cucu Adam. Dalam ayat al-Qur’an, penggunaan kata “thin”, digunakan dalam konteks pembicaraan mengingatkan anak cucu Nabi Adam as tentang penciptaan Nabi Adam. Hal itu terlihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti Q.s. al-Sajdah ayat 7 yang mengingatkan bahwa awal mula diciptakannya manusia adalah dari “Thin”. Sedangkan dalam konteks pembicaraan yang menjelaskan penciptaan anak-cucu Adam, digunakan lafadz “sulalatin min thin”, “turab”, ”nuthfah, ‘alaqah, ma-in dafiq. Inilah penjelasan proses penciptaan manusia yang membutuhkan peran serta unsur lain, yaitu ayah dan ibu.
Dalam teori biologi, penciptaan manusia berawal dari adanya pertemuan antara sel kelamin jantan (sperma) dengan sel kelamin betina (ovum) yang kemudian membentuk zigot, dan seterusnya berproses hingga terbentuklah bayi (manusia baru). Inilah yang dijelaskan oleh al-Qur’an dalam beberapa ayat secara jelas dan tegas mengenai prosesnya. Secara lebih jelas, dapat dilihat di Q.s. al-Haj: 5, al-Mukminun: 12-14, dan al-Ghafir: 67. Beberapa ayat tersebut memberikan penjelasan tentang proses reproduksi. Selain penyebutan bahannya yang beragam, penyebutan proses kerjanya pun juga menggunakan dua kata kerja sekaligus, yaitu kata “khalaqa” dan kata “ja’ala”. Perhatikan Q.s. al-Mukminun: 12-14 berikut ini,
 وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (١٣) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (١٤)
Artinya: “12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Pada ayat diatas, jelas bahwa Allah Swt menciptakan manusia (al-Insan) dari sulalatin min thin, yang berproses menjadi nuthfah, kemudian ‘alaqah, kemudian mudhghah, ‘idhaman, lahman, kemudian khalqan akhar. Kata “sulalatin min thin” hanya digunakan dalam Q.s. al-Mukminun ayat 12 saja, sedangkan ayat-ayat yang lain, disebutkan dengan menggunakan kata “turab” sebagai pembentuk nuthfah.
Kata “Turab” bermakna tanah atau debu. Baik kata “turab” ataupun “sulalatin min thin” menunjukkan pada unsur pembentuk manusia yang merupakan kandungan unsur tanah. Dalam ayat-ayat tersebut, sangat jelas bahwa unsur pembentuk nuthfah adalah “turab” dimana pembentukan nuthfah membutuhkan waktu dan proses. Hal itu nampak dari kata tsumma yang digunakan.
Dalam menciptakan manusia dari sulalatin min thin, digunakan kata “khalaqa” dengan dhamir “nahnu” yang berarti “kami”. Penggunaan dhamir tersebut, menunjukkan bahwa proses pembentukan sulalatin min thin menjadi nuthfah terdapat peran serta unsur lain, yaitu manusia. Hal itu karena, sari pati tanah yang berada pada bahan makanan dan dimakan oleh manusia, barulah berproses menjadi unsur pembentuk nuthfah. Proses pertemuan nutfah laki-laki dengan perempuan pun terdapat proses yang cukup lama. Karena itulah dalam ayat tersebut digunakan kata sambung “tsumma” bukan menggunakan kata sambung “fa”.
Setelah antara laki-laki dan perempuan menikah, dan nuthfah mereka bertemu, maka akan berjalan proses-proses selanjutnya. Hal itu dapat dilihat dalam penggunaan kata sambung dalam ayat-ayat tersebut. Begitu pula proses pembentukan nuthfah menjadi ‘alaqah juga membutuhkan proses yang lama. Berbeda dengan proses selanjutnya yang menggunakan kata sambung “fa” yang menunjukkan waktunya yang cepat.
Menurut penjelasan Qomarulhadi, setelah terpancarnya sperma laki-laki, maka dibutuhkan waktu 8 jam untuk sel sperma tersebut menemuka sel telur. Setelah bertemunya sel sperma dengan sel telur, terjadilah proses fertilisasi[6] yang akan membentuk zigot, yang kemudian membentuk morula.[7] 
Proses pembentukan bayi memang sangat lama. Menurut Syahmuharnis dan Harry Sidarta dalam bukunya, terdapat 3 tahapan kehidupan didalam rahim, pertama pre-embrionik (dua setengah minggu pertama), embrionik (sampai akhir minggu kedelapan) dan janin (dari minggu kedelapan sampai kelahiran).[8] Dia juga menjelaskan secara sederhana, pada fase atau tahap pre-embrionik, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan terbentuklah segumpalan sel yang kemudian menanamkan diri dalam dinding rahim. Sejalan dengan pertumbuhan zigot yang semakin membesar, sel-sel penyusunnya mengatur diri mereka sendiri guna membentuk tiga lapisan. Selanjutnya, pada tahap embrionik, organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk dari lapisan-lapisan sel tersebut menjadi embrio yang prosesnya berlangsung selama lima setengah minggu. Tahap selanjutnya adalah tahap fetus yang menyerupai manusia dengan wajah, kedua tangan dan kakinya yang pada awalnya hanya memiliki panjang 3 cm, kemudian terus berproses dan mengalami perkembangan selama kurang lebih 30 minggu, dan terus berkembang hingga masa kelahiran.[9]
Jika membaca pemaparan Syahmuharnis dan Harry Sidarta ini, tergambar bahwa proses terlama adalah pada fase embrionik, yaitu waktu lima setengah minggu (kurang lebih 63 hari atau 2 bulan). Itulah proses dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Selanjutnya, berdasarkan ayat terdapat empat proses, yaitu mudhghah, ‘idhaman, lahman, kemudian khalqan akhar, yang dalam teori diatas terjadi selama 30 minggu (kurang lebih 210 hari atau 7 bulan). Dengan asumsi hitungan matematika tersebut, berarti setiap proses membutuhkan waktu kurang lebih 52 hari (1 bulan, lebih 22 hari).
Termasuk kata kerja “menciptakan” menggunakan lafadz “Khalaqa” atau menggunakan lafadz “Ja’ala”, karena dua kata kerja tersebut, diterjemahkan dengan kata yang sama, namun memiliki konotasi arti yang berbeda-beda.
Jika melihat dari kata kerja yang digunakan, baik yang menggunakan bahan dari sholshol, thin, dan lain sebagainya menggunakan lafadz “khalaqa”. Mengapa semuanya menggunakan kata “khalaqa”, karena baik turab, thin, nuthfah, dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang telah tercipta, namun merupakan bahan baku yang terkumpul dari beberapa unsur pembentuk.
Disitulah nampak bagaimana Allah Swt memberikan penjelasan akan unsur pembentuk manusia yang pada asalnya berasal dari unsur campuran air dan tanah. Dengan hal itu, maka harus dipahami bahwa unsur tanah merupakan unsur yang tenang, unsur yang penuh dengan ketunduhan dan kerendahan. Seharusnya, sikap itulah yang harus muncul dan berkembang dalam diri seseorang sebagaimana fithrahnya.

b.         Hakikat Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan tiga kata kunci pokok, diantaranya adalah dengan al-Insan, al-Nas, dan al-Basyar. Tiga kata itu merupakan kata kunci yang menunjukkan manusia dalam beberapa unsur dan eksistensinya. Sedangkan kata yang lain, misalkan bani adam, hanya sebatas menunjukkan pada peringatan bahwa manusia berasal dari nenek moyang yang satu, yaitu Nabi Adam as dan siti Hawa. Begitu pula kata lain yang menunjuk pada manusia, yaitu kata dzakarun dan  Untsa yang hanya menunjuk pada manusia secara jenis kelamin.
Oleh karena itulah, dalam kajian tentang penyebutan manusia, hanya akan difokuskan pada al-Insan, al-Nas, dan al-Basyar.  
1.          Al-Insan dan Al-Nas
Menurut Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, kata “al-Insan” disebut sebanyak 65 kali dengan tiga makna; yaitu: pertama, Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia; kedua, Insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah, dan ketiga, Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia.[10] 
Kata “al-Insan” dihubungkan dengan proses penciptaan manusia dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti Q.s. al-Hijr: 26, Q.s. al-Rahman: 14, al-Mukminun: 12, al-Sajdah: 7, al-Nahl: 4, Yasin: 77, al-Insan: 2, al-Thariq: 5-6, al-‘Alaq: 2 dan al-Tin: 4. Ayat-ayat diatas, menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan manusia (al-Insan) terdapat beberapa unsur bahan baku. Selain itu, manusia (al-Insan) diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk penciptaan (Q.s. al-Tin: 4).
Kemudian, kata “al-Insan” dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah, dijelaskan dalam surat al-Qiyamah: 3 dan 36; al-Najm: 39, al-Ahzab: 72, dan al-Ankabut: 8. Sebagai seseorang yang menanggung amanah (al-Ahzab: 72), dijelaskan bahwa “al-Insan” harus berbuat baik dan memiliki kepedulian sosial (al-Ankabut: 8), karena segala yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan kepada Allah (al-Qiyamah: 3 dan 36) dan seseorang akan mendapatkan atau dibalas sesuai dengan apa yang dikerjakannya (al-Najm: 39). Oleh karena itulah, “al-Insan” lah yang dimusuhi oleh Syaithan (al-Isra’: 53).
Sedangkan kata “al-Insan” dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia. Berkaitan dengan hal itu, dijelaskan bahwa manusia memiliki beberapa sisi negatif. Sisi negatif yang ada dalam diri manusia, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an adalah: Bodoh (Q.s. al-Ahzab: 72), Lemah (Q.s. al-Nisa: 28, QS. Al-Haj: 73, dan  QS. Ar-Rum: 54), Kikir (QS. 'Ali `Imran : 180, QS. An-Nisa' : 37, QS. At-Taubah : 76, QS. Al-Hadid : 24, QS. Al-Hashr : 9, QS. At-Taghabun : 16,  QS. Al-Layl : 8), Tergesa-gesa (QS. Al-'Isra' : 11, QS. Al-'Anbya' : 37 ), Keluh kesah (QS. Al-Ma`arij : 19), suka membantah atau mendebat (QS. Al-Kahfi : 54), tidak mau berterima kasih (al-Adiyat: 6), melampaui batas (Q.s. al-Alaq: 6) dan meragukan hari kebangkitan (Q.s. Maryam: 66).
Dari penjelasan diatas, kata “al-Insan” dapat dipahami sebagaimana asal katanya. Menurut Ibnu Faris berakar dari kata alif, nun, dan sin, yang bermakna “menampakkan sesuatu”.[11] Penjelasan Ibnu Faris tersebut, mengindikasikan bahwa terdapat kesamaan makna antara “al-Insan” dengan “al-Nas” karena memiliki akar kata yang sama, yaitu huruf alif, nun, dan sin.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata “al-Insan” berarti jinak, harmonis dan tampak. Kata ini juga dapat terambil dari kata “nasiya” yang bermakna lupa. Sehingga, kata “al-Insan” lebih menunjukkan makna dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. [12]
Selanjutnya, kata “al-Nas”, sebagaimana dikemukakan oleh Atang Abd. Hakin dan Jaih Mubarak, dikemukakan bahwa kata “al-Nas” disebut dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang mengacu pada makhluk sosial.[13] Sebagai makhluk sosial, manusia dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,  banyak ayat yang menunjukkan kelompok sosial dan karakteristiknya; kedua; banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan kualitasnya. Selain itu, dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk yang memiliki keseimbangan potensi, yaitu baik dan buruk, ingat dan lupa, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, dalam konteks Allah mengingatkan manusia agar beribadah, selalu menggunakan kata “al-Nas” bukan kata “al-Insan”.
Itulah mengapa, dijelaskan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (QS. At-Tin : 4), dan disebutkan pula bahwa Allah Swt memulyakan bani Adam (QS. Al-'Isra' : 70)
2.          Basyar
Kata yang paling sedikit digunakan untuk menyebut manusia adalah kata “al-Basyar”, karena secara makna lughawi, kata basyar tidak selalu identik dengan makna manusia. Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak menjelaskan, kata “Basyar”, dalam al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis.[14] Adapun acuan dari pendapat ini adalah Q.s. Ali Imran: 47, al-Kahfi: 110, Fushilat: 6, al-Furqan: 7 dan 20, dan Yusuf: 31.
Ibnu Jarir al-Thabari, ketika menafsirkan surat Fushilat: 6 menjelaskan bahwa Muhammad Saw itu adalah manusia dari keturunan Adam sebagaimana manusia lainnya dalam hal jenis, bentuk dan struktur fisiknya.[15]
Begitulah makna kata “Basyar”, dalam al-Qur’an, sebagaimana digunakan kata tersebut misalnya dalam cerita Maryam yang mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak padahal dia belum pernah disentuh oleh “Basyar” (Q.s. Ali Imran: 47). Begitu pula Nabi Muhammad Saw, secara biologis pun sama dengan manusia yang lainnya (Q.s. al-Kahfi: 110 dan Q.s. Fushilat: 6). Secara fisik, Nabi Yusuf dikatakan sebagai “Basyar” oleh wanita mesir saat terkagum-kagum dengan ketampanannya.
Oleh karena itulah, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa kata “Basyar” digunakan dalam al-Qur’an dikaitkan dengan kedewasaan manusia dalam kehidupannya, khususnya secara biologis yang menjadikannya memikul tanggung jawab. Sebagaimana dicontohkan diatas dalam cerita Maryam, cerita Nabi Yusuf yang disebut dengan “Basyar” untuk menunjukkan makna kematangan secara biologis dan kedewasaan bentuk.
3.          Hubungan antar Makna
Dalam penciptaan manusia, kata yang digunakan untuk menjelaskannya banyak disebut dengan kata “Insan”, dari pada kata “Basyar”. Hal itu menunjukkan bahwa inti dari tujuan penciptaan manusia, lebih menunjukkan pada pentingnya aspek spiritual daripada aspek jasad (basyariyah). Manusia disebut baik apabila ada keseimbangan antara sifat Basyariyah dan Insaniyah, namun manusia akan dianggap beradab, bermoral, shalih, ketika aspek insaniyah (spiritual) lebih dikedepankan daripada aspek basyariyah. Dengan kata lain, penentu kebaikan, kesalehan manusia bukan terletak pada bentuk fisik, namun lebih kepada aspek spiritual dan moral yang baik. Ketika aspek insaniyah seseorang baik, akan terpancar dan membuat kebaikan aspek basyariyah (fisik).
Manusia disebut pula dengan kata “al-Nas”, adalah manusia yang memiliki keseimbangan potensi, yaitu baik dan buruk, ingat dan lupa, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, dalam konteks Allah mengingatkan manusia agar beribadah, selalu menggunakan kata “al-Nas” bukan kata “al-Insan”.
Dari uraian diatas, memberikan gambaran tentang hakikat manusia yang merupakan makhluk yang secara individu, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi (basyariyah) dan unsur non materi atau ruhani (Insaniyah). Dari segi materinya, dia berkedudukan sama dengan makhluk Allah Swt yang lain seperti matahari, bintang, tumbuhan, dan lain sebagainya yang memiliki potensi musayyar (tunduk pada taqdir Allah), sedangkan dari sisi Insaniyyah, manusia dikenai hukum dan diberi kekuatan untuk keluar dari hukum tersebut, maka dia secara otomatis menjadi makhluk mukhayyar.[16] Disinilah dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang dalam satu sisi dia harus tunduk kepada taqdir Allah Swt tanpa dapat merubahnya sedikitpun, namun disisi yang lain dia diberikan kekuatan untuk berusaha dan bertindak mengembangkan potensi dan kekuatannya untuk keluar dari kondisi yang tidak disukainya.

C.        TUGAS DAN FUNGSI MANUSIA
1.          Manusia sebagai ‘Abdun
Jika mengacu pada konsep al-Qur’an, tugas manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.Begitulah ditegaskan dalam Q.s. adz-Dzariyat: 56.
Peribadatan yang dilakukan oleh manusia, diharapkan muncul dari kesadaran status dan posisi kehambaan manusia sehingga dengan sadar dan ikhlas menyembah dan beribadat kepada-Nya.[17]
Sedangkan secara filosofis, manusia hidup adalah berusaha agar mampu menganalisis persoalan hidup dan kehidupan yang dialami, baik pada masa lalu, masa sekarang dan masa depan.[18] Proses analisis hidup dan kehidupan pun juga bagian dari ibadah.
Ibadah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi khusus dan umum. Dengan kata lain, Ibadah dapat bersifat ritual individu, dapat bersifat sosial. Atau Ibadah yang bersifat vertikal dan horisontal. Ibadah yang bersifat khusus,ritual individu, atau vertikal merupakan penghambaan kepada Allah Swt dalam bentuk ritual dengan cara-cara yang diatur secara khusus dalam sunnah. Sedangkan ibadah umum, sosial, atau horizontal adalah ibadah kemanusiaan atau perbuatan baik yang diniatkan untuk menggapai ridha Allah, tanpa adanya ketentuan dan cara-cara khusus, seperti menolong sesama, menghormati orang tua, dan lain sebagainya.
Karena keselamatan manusia, bukan hanya disebabkan karena hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, namun juga harus sesuai hubungan antara manusia dengan sesama manusia yang lain untuk mewujudkan keharmonisan, keserasian, keselarasan hidup dan kehidupan.

2.          Manusia sebagai Khalifah
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam Q.s. al-Baqarah: 30, bahwa fungsi manusia adalah sebagai “khalifah” di bumi. Bukan hanya dalam Q.s. al-Baqarah: 30, namun juga disebutkan di ayat-ayat lain, seperti Q.s. al-Naml: 62, Fatir: 39, al-A’raf: 129, dan Shad: 26.
Dalam Q.s. a-Baqarah: 30, dijelaskan bahwa Allah Swt akan menjadikan khalifah di bumi, namun para malaikat seakan tidak sepakat dengan hal itu, karena dikhawatirkan manusia akan banyak berbuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah. Di Q.s. al-Naml: 62 yang merupakan peringatan bahwa yang mengabulkan doa dan yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi adalah Allah. Dalam Q.s. Fatir ayat 39, dikemukakan oleh Allah bahwa fungsi manusia adalah sebagai khalifah, maka ketika manusia justru ingkar kepada Allah, maka keingkarannya tersebut hanya akan menambah kemurkaan Allah dan kerugian bagi manusia sendiri. Berbeda dengan Q.s. Al-A’raf ayat 129 yang berbicara dalam konteks pengaduan kaumnya Nabi Musa as akan penindasan Fir’aun kepada mereka, kemudian Nabi Musa as menghibur mereka dengan mengatakan “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya),”. Sedangkan pada Q.s. Shad: 26, berbicara dalam konteks penjelasan Allah Swt kepada Nabi Daud as, bahwa Nabi Daud as adalah khalifah Allah di bumi, maka sudah semestinya Nabi Daud as memutuskan hukum dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Melihat beberapa konteks pembicaraan diatas, maka makna khalifah semua dipahami seperti halnya makna bahasanya, yakni berasal dari akar kata “khalafa” yang bermakna pengganti, suksesor, pewaris tahta.
Pembicaraan tentang khalifah tersebut, mengindikasikan bahwa Allah Swt menciptakan manusia bukan untuk main-main[19], namun Allah Swt menempatkan manusia pada posisi yang layak untuk diberikan kepercayaan mengatur alam, memperbaiki nilai-nilai sosial yang ditemukan dalam seluruh kehidupan masyarakat. [20]
Sebagai khalifah, maka manusia harus memiliki minimal tiga kesadaran-sebagaimana dikemukakan Quraish Shihab-, tentang unsur kekhalifahan, yaitu: (a) manusia sebagai khalifah, (b) bumi sebagai tempat tinggal dan (c) tugas kekhalifahan yang dibebankan kepadanya oleh Allah Swt. Melalui tugas kekhalifahan, manusia dituntut dengan proses pemeliharaan, pengaturan dan pengelolaan, pengayoman, dan pengarahan makhluk hidup sesuai dengan yang dikehendaki-Nya,[21] serta menjaga ekosistem bumi dan menghindarkannya dari kerusakan sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.s. Hud: 11.[22] Dengan kata lain, manusia diberikan misi oleh Allah Swt untuk berjuang menciptakan tata sosial yang bermoral diatas bumi.[23] Karena, kerusakan bumi akan terjadi ketika sistem moral telah hilang dalam kehidupan individu dan sosial. Oleh karena itulah, Rasulullah Saw bersabda: “Aku tidaklah diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak
Sebagai khalifah, manusia diberikan hak dan kewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan bumi sesuai dengan keinginan atau aturan dari sang Pemilik (Allah Swt). Tentunya dengan konsekwensi logis, yakni mempertanggung jawabkan amanahnya kepada Allah Swt.
Sebagai pengemban amanah, maka manusia harus memanfaatkan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya, potensi sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sehingga dia tidak dapat keluar dari otoritas hukum alam dan hukum sosial.[24]
Sebagai makhluk individu, manusia harus menyeimbangkan antara unsur jasadi dan ruhani. Jasad melindungi hati dan fikiran. Fikiran adalah gerak akal untuk kecerdasan, mendapatkan kepandaian untuk kesejahteraan hidup. Sedangkan hati untuk keimanan.  Itulah kelengkapan yang sempurna pada diri manusia, yaitu hati (fuad) dan fikiran (fikr).[25] Untuk memenuhi fungsi jasmaniyah, tidak hanya mengandalkan tingkah laku rasional, namun faktor spiritual pun menjadi penting untuk melangsungkan kehidupannya dengan baik. Karena itulah, secara individu,manusia membutuhkan agama.[26] Karena dengan agama, manusia secara individu akan terbangun moral dan akhlaknya[27], dan kemudian dengan moral dan akhlak itulah yang akan menjadi penopang keberhasilan hidupnya sebagai makhluk sosial.
Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia harus melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam interaksi, dibutuhkan seperangkat aturan yang mengatur hubungan sosial sehingga membawa pada keharmonisan hidup dan kehidupan, yang dalam hal ini pun juga dibutuhkan agama sebagai seperangkat aturan hukum kehidupan yang membawa manusia pada kesadaran insaniyyah menuju pada kesadaran Illahiyah.
Kesadaran Insaniyah, yang tercermin dalam kesalehan individu, harus diaktualisasikan menjadi kesalehan sosial yang akan membawa pada keharmonisan hidup dan kehidupan, sebagai bukti kesalehan Ilahiyah, yakni kesadaran untuk mengaktualisasikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan, seperti sikap saling menyayangi, mengasihi, memaafkan, dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, menurut Din Zainuddin, diperlukan pengenalan diri dan potensinya serta penguasaan pengetahuan untuk lebih mengenal jati dirinya dengan mengenal bumi sebagai wilayah pengelolaannya, pengenalan dan penggalian rahasia alam dan juga hukum alam, dengan misalnya melakukan observasi, dan menjaga kestabilan sistem alam.[28] Artinya, sebagai khalifah di bumi, manusia membutuhkan ilmu. Karena itulah mengapa orang yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya oleh Allah Swt, sebagaimana dikemukakan dalam Q.s. al-Mujadallah: 11.
Dengan adanya Iman dan Ilmu, manusia akan dapat memahami dan mengenal hakikat diri dan tujuan penciptaannya. Pengenalan diri tersebut yang akan menjadikan manusia memiliki sikap arif, bijaksana, tepa selira, rendah hati dan mampu menghargai orang lain. Sebaliknya, tidak adanya pengenalan terhadap hakikat dirinya, akan menjadikan dirinya sombong, arogan, tidak menghargai orang lain dan hanya kepentingan dirinyalah yang dijadikan ukuran segala-galanya.[29]
Dengan sikap arogan, sombong dan sikap-sikap buruk lainnya, maka manusia tidak akan mampu melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik. Karena, sikap-sikap tersebut, akan memunculkan kekacauan dalam sistem sosial dan individu. Begitulah, banyak ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw yang mengingatkan akan bahaya sikap sombong agar manusia dapat menjauhinya. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa orang yang dalam hatinya terdapat setitik kesombongan, maka dia tidak akan masuk syurga. Karena, dengan itu berarti dia tidak berhasil melaksanakan amanah yang diberikan oleh Allah Swt kepadanya, yaitu  sebagai khalifah fil ardh.
D.        KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an memiliki konsep yang menyeluruh tentang manusia. Menurut al-Qur’an, manusia yang seutuhnya merupakan manusia yang memiliki keseimbangan antara unsur jasadiyah (basyariyah) dan unsur ruhaniyah (insaniyyah). Keseimbangan ini harus dibuktikan dalam pemenuhan kebutuhan keduanya secara berimbang dan tidak boleh dikesampingkan dan diunggulkan satu dengan yang lainnya.
Selain itu, manusia bukan hanya makhluk individu yang hidup menyendiri, namun dia juga merupakan makhluk sosial yang memiliki konsekwensi untuk berinteraksi dengan lingkungannya, membangun kerjasama dan sinergi dengan sesamanya. Hal itu juga membawa konsekwensi bahwa seorang manusia tidak boleh hanya memikirkan hak dan kewajiban terhadap pribadinya, namun juga harus memenuhi hak dan kewajiban kepada sesamanya. Hal itu merupakan satu kesatuan utuh untuk mewujudkan tugas dan fungsinya sebagai khalifah fil ardh. Wallahu a’lam bish-shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Ma’alim al-Tanzil, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001).

al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001).

al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XX, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001)

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004).

Din Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju Pencerahan Spiritual, cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005)

Faisal Ismail, Percikan-Percikan Pemikiran Islam, cetakan 1 (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984).

Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz. II (Mesir: Dar al-Fikr, tt).

Ibnu Katsir, Abu al-Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasqiy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001).

Irfan Hielmy, Modernisasi Pesantren: Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah (t.tp: Penerbit Nuansa, tt).
Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-Tema Unggulan dalam Al-Qur’an, terj. Hasan Basri, cetakan 1 (Jakarta: Balai Kajian al-Qur’an Pase, 2002).

Khadziq, Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2009).

Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000).

Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011).

Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, cetakan 1 (Yogyakarta: LESFI, 2002).

Nasruddin Razak, Dienul Islam: Penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah dan way of life, cetakan 7 (Bandung: Al-Ma’arif, 1984)

Qomarulhadi, Membangun Insan Seutuhnya: Sebuah Tinjauan Anthropologis Menuju Kepada Kehidupan yang Tanggap, cetakan 2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1986).

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013)..

                           , Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, cetakan 1 (Bandung: Mizan, 2007).

                           , Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an, edisi kedua, cetakan 2 (Bandung: Mizan, 2013).

Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, cetakan 3 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).

Syahmuharnis dan Harry Sidarta, Transcendental Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik, cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007).
Internet:








[1] Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001), h. 57.
[2] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001), h. 378.
[3] Abu al-Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasqiy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001), h. 533.
[4] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz. II (Mesir: Dar al-Fikr, tt), h. 213.
[5] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 133.
[6] Fertilisasi atau pembuahan adalah peristiwa penyatuan sperma dengan ovum yang terjadi pada makhluk hidup. Pada manusia, sperma dihasilkan di testis sedangkan ovum dihasilkan di ovarium. Peristiwa fertilisasi pada manusia terjadi pada tuba falopi di tubuh wanita. Penyatuan ini akan menghasilkan zigot yang akan berkambang menjadi embrio manusia yang baru. (diakses dari: http://www.edubio.info/2015/03/fertilisasi-pada-manusia.html, rabu, 28 desember 2016)
[7] Qomarulhadi, Membangun Insan Seutuhnya: Sebuah Tinjauan Anthropologis Menuju Kepada Kehidupan yang Tanggap, cetakan 2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), h. 96-98.
[8] Syahmuharnis dan Harry Sidarta, Transcendental Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik, cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007), h. 91.
[9] Syahmuharnis dan Harry Sidarta, Transcendental Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik, cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007), h. 91.
[10] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 206.
[11] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz. I (Mesir: Dar al-Fikr, tt), h. 145.
[12] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, cetakan 1 (Bandung: Mizan, 2007), h. 369.
[13] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 208-209.
[14] Ibid, h. 205.
[15] Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XX, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001), h. 378.
[16] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 209.
[17] Faisal Ismail, Percikan-Percikan Pemikiran Islam, cetakan 1 (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 59.
[18] Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, cetakan 3 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 26.
[19] Sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam Q.s. al-Mukminun: 115.
[20] Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-Tema Unggulan dalam Al-Qur’an, terj. Hasan Basri, cetakan 1 (Jakarta: Balai Kajian al-Qur’an Pase, 2002), h. 53.
[21] Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an, edisi kedua, cetakan 2 (Bandung: Mizan, 2013), h. 373.
[22] Din Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju Pencerahan Spiritual, cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005), h. 58; Nasruddin Razak, Dienul Islam: Penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah dan way of life, cetakan 7 (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), h. 21.
[23] Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 193.
[24] Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 211.
[25] Irfan Hielmy, Modernisasi Pesantren: Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah (t.tp: Penerbit Nuansa, tt), h. 80.
[26] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 113.
[27] Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 193.
[28] Din Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju Pencerahan Spiritual, cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005), h. 58.
[29] Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, cetakan 1 (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 5.

Tidak ada komentar