MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Eko Rahmanto, S.Ud
A.
PROSES
PENCIPTAAN MANUSIA
Berkaitan tentang ayat-ayat yang berbicara
tentang manusia, ditemukan banyak ayat al-Qur’an yang secara tersirat
memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Ayat-ayat yang ada, perlu dilakukan
kajian atas kandungan makna secara menyeluruh sehingga dapat menjelaskan tentang
bagaimana manusia, proses kejadiannya, dan maksud, tujuan serta fungsi
penciptaannya.
Kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang manusia, dikaji dengan menggunakan pendekatan kebahasaan yang
meliputi pemilihan kata yang digunakan dan juga struktur kalimat yang
digunakan. Selain itu, penjelasan dari para ulama tafsir dan
penjelasan-penjelasan dari para pakar pun juga perlu dijadikan rujukan dalam
mengambil inti sari dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an tentang manusia.
a.
Proses
Penciptaan Manusia
Dalam pandangan ilmu sains modern, manusia
terbentuk dari adanya proses pertemuan antara sel kelamin jantan (sperma) dan
sel kelamin betina (ovum) dengan proses yang sangat panjang.
Menurut al-Qur’an, proses penciptaan
manusia dengan sebutkan dengan bahan baku yang sangat beragam. Disebutkan dalam
beberapa ayat al-Qur’an, manusia dicipta dari sholsholin min hamain masnun,
dan disebut pula dengan sholsholin kal fakhkhor. Dalam ayat yang
lainnya, disebut pula manusia diciptakan dari thin. Kemudian, disebutkan
pula dalam kata yang lain, manusia diciptakan dari nuthfah. Disebutkan
pula bahwa manusia diciptakan dari ma-in dafiq. Kemudian, disebut pula
manusia diciptakan dari ‘alaq.
Jika tidak dicermati dengan baik,
seakan-akan manusia diciptakan dengan bahan baku yang berbeda-beda. Namun,
sebenarnya antar ayat tersebut memiliki korelasi (munasabah) yang saling
menjelaskan dalam kaitannya tentang proses produksi dan reproduksi. Ayat-ayat
diatas, juga menjelaskan secara detail dengan komposisi unsur jasad pada
manusia yang dengan unsur-unsur tersebut dengan segala sifat-sifatnya,
menjadikan manusia menjadi makhluk yang sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam
Q.s. al-Tin ayat 4. Berikut ini penjelasan ringkas tentang bahan baku
penciptaan manusia sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an.
1.
Sholshol
Diantara ayat yang menyatakan manusia
diciptakan dari sholsholin min hamain masnun, adalah surat Al-Hijr : 26, 28, dan 33. Sedangkan kalimat
sholsholin kal fakhkhor, disebut pada Q.s. al-Rahman: 14.
Dalam Q.s. al-Hijr: 26, manusia disebut
dengan lafadz “al-Insan”.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ
مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٢٦
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
Sedangkan pada ayat 28, manusia disebut dengan
lafadz “Basyarun”
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٢٨
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”
Begitu pula di ayat 33, disebutkan
قَالَ لَمْ أَكُنْ لِأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ
مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ٣٣
Artinya: “Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang
Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk”.
Selain itu, dalam Q.s. al-Rahman: 14
menyebut manusia dengan menggunakan kata “al-Insan” yang diciptakan dari “shalshalin
kal Fakhkhar”
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
١٤
Artinya: “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,”
2.
Thin
atau Sulalatin min Thin.
Diantara ayat-ayat yang menggunakan kata “Thin”
sebagai berikut,QS. Al-'An`am [6] : 2, QS. Al-'A`raf [7] : 12,
QS. Al-Mu'minun [23] : 12, QS. As-Sajdah
[32] : 7, QS. As-Saffat [37] : 11, QS.
Sad [38] : 71, QS. Sad [38] : 76.
Dari ayat-ayat
yang ada, yang paling banyak digunakan adalah kata “Thin”, namun ada
pula yang menggunakan lafadz “Sulalatin min Thin”. Di surat Shad: 71
disebutkan bahwa manusia disebutkan diciptakan dari “Thin”, pada ayat
ini manusia digunakan kata “Basyar”,
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا
مِنْ طِينٍ ٧١
Artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku
akan menciptakan manusia dari tanah”
Sedangkan ayat
yang menggunakan kata “Sulalatin min Thin”, dapat dibaca di Q.s.
al-Mukminun: 12, sedangkan manusia dalam ayat tersebut disebut dengan
menggunakan kata “al-Insan”
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ
طِينٍ ١٢
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah”.
3.
Nutfah
Diantara
ayat-ayat yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari “Nuthfah”
adalah: QS. An-Nahl: 4, QS. Al-Kahf : 37, QS. Al-Haj : 5, QS. Al-Mu'minun : 13, QS. Fatir
: 11, QS. Ya-Sin: 77, QS. Ghafir:
67, QS. An-Najm: 46, QS. Al-Qiyamah: 37, QS. Al-'Insan: 2, QS. `Abasa: 19.
Salah
satu ayat yang secara jelas menginformasikan tentang proses penciptaan manusia
dan prosesnya adalah Q.s. al-Haj: 5 dan Q.s. Ghafir: 67
Dalam
Q.s. al-Haj: 5
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمْ فِى
رَيْبٍ مِّنَ ٱلْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ
ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
لِّنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِى ٱلْأَرْحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٍ
مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوٓا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنكُم
مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرْذَلِ ٱلْعُمُرِ لِكَيْلَا
يَعْلَمَ مِنۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔا ۚ وَتَرَى ٱلْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ
أَنزَلْنَا عَلَيْهَا ٱلْمَآءَ ٱهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنۢبَتَتْ مِن كُلِّ
زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”
Sedangkan di
surat Ghafir: 67
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ
ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ
لِتَبْلُغُوٓا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا ۚ وَمِنكُم مَّن
يُتَوَفَّىٰ مِن قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوٓا أَجَلًا مُّسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah
kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian
dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya
kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua,
di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya
kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)”
4.
Ma-in Dafiq
Kata “ma-in dafiq” sebagai bahan
penciptaan manusia, hanya
disebutkan dalam satu ayat al-Qur’an, yaitu dalam QS. At-Tariq : 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ ٥ خُلِقَ
مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ ٦ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ ٧
Artinya:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, Dia
diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan.”
5.
‘Alaq atau ‘Alaqah
Diantara ayat-ayat
yang memberikan penjelasan bahwa manusia diciptakan dari “ ‘alaq atau
‘alaqah”terdapat di QS.
Al-Haj : 5, QS. Al-Mu'minun: 14, QS. Ghafir: 67, QS. Al-Qiyamah: 38, QS. Al-`Alaq: 2.
Dari
sekian banyak ayat yang ada, yang secara tegas menyebutkan bahwa manusia
diciptakan dari “ ‘alaq” adalah Q.s. al-‘Alaq: 2, pada ayat itu manusia disebut
dengan menggunakan kata “al-Insan”
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ٢
Artinya:
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Ayat-ayat
diatas, baik yang menggunakan pilihan kata “shalshal”, “Hamain Masnun”,
“Hamain kal Fakhar”, “Thin”, “Nuthfah” dan “ ‘Alaq atau
‘alaqah” semua penting untuk dilakukan kajian berkaitan dengan makna
kebahasaannya, dan lain sebagainya untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh.
Selain itu juga perlu dikaji tentang penggunaan kata kerjanya dan penyebutan
kata yang digunakan untuk menunjuk makna “manusia”. Hal itu penting karena
dengan begitu, dapat dipahami secara menyeluruh tentang proses penciptaan
manusia dan konteks pembahasannya.
B.
PENJELASAN TENTANG PENCIPTAAN MANUSIA.
Jika membaca
secara detail ayat bersama dengan konteks pembahasannya, maka penciptaan
manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu: penciptaan manusia pertama (Adam)
dan penciptaan anak-cucu Adam.
Pada penciptaan
Adam, disebutkan bahwa diciptakan Adam dengan pilihan kata “Sholshol”,
dan Thin, tidak digunakan kata yang lain, seperti ‘Alaqah dan Nuthfah.
Begitu pula, kata kerja yang digunakan semuanya menggunakan kata “Khalaqa”.
Dari sisi
bahannya, Adam diciptakan dari “Shalshal” dan dari “Thin”. Kata “Shal-shal” dalam kamus
bahasa Arab diartikan dengan tanah liat, tanah liat yang murni. Sedangkan kata “Fakhar”
diartikan dengan barang tembikar, keramik. Kata “Thin”, memiliki banyak
makna, diantaranya tanah liat,
lumpur, lempung, bubur lim, adukan semen, plester, kotoran
Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, “shalshal”
adalah, tanah yang keras yang api tidak dapat melewatinya.[1] Begitu pula perkataan al-Baghawi dalam tafsirnya,
bahwa shalshal adalah tanah yang padat atau keras.[2] Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ketika menjelaskan “shalshalin
min hama-in masnun”ketika menafsirkan surat al-Hijr ayat 26, shalshal
disamakan dengan “thin”, sedangkan kata “masnun” dipahami dengan
makna “diformat atau dibentuk”. Dengan begitu, maka dipahami dengan arti
manusia berasal dari tanah yang dibentuk atau dilakukan proses pembentukan. Selanjutnya,
dijelaskan pula bahwa shalshal adalah tanah yang keras, yang dhahirnya
sebagaimana disebutkan dalam Q.s. al-Rahman ayat 14-15. [3]
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ وَخَلَقَ
الْجَانَّ مَن مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ )الرحمن: ١٤-١٥(
Dari penjelasan
diatas, dapat dipahami bahwa makna “shalshal min hamain masnun” dengan
kata “shalshal kal fakhar” memiliki makna korelasi dan saling
menjelaskan satu dengan yang lainnya.
Dari sisi
prosesnya, penggunaan kata “khalaqa” memiliki makna tersendiri. Kata “khalaqa”
dan “ja’ala”, meskipun secara terjemah bahasa Indonesia memiliki arti
yang sama, yaitu “menciptakan atau menjadikan”, namun dua kata tersebut
memiliki konotasi makna yang berbeda.
Menurut Ibnu Faris, kata yang berakar dari
huruf kha’, lam, qaf, asalnya bermakna taqdir al-syai’
atau mulasamah al-syai’. [4]
Kata “khalaqa” mengandung makna, mencipta baik ciptaan itu telah ada
yang serupa dengannya sebelum yang ini diciptakan, maupun dari bentuk baru.
Berbeda dengan kata “ja’ala” yang bermakna menciptakan sesuatu, sesuatu
yang lain.[5]
Dengan penjelasan lain, khalaqa
digunakan untuk menunjukkan makna menciptakan sesuatu dari suatu bahan dasar
sehingga terbentuk produk baru. Misalnya, menciptakan kursi dari bahan kayu.
Sedangkan, “ja’ala” digunakan untuk menciptakan suatu dari sesuatu yang
lain yang telah ada. Seperti: menjadikan gelang itu cincin. Dalam hal itu,
gelang bukanlah bahan baku, namun dia merupakan suatu produk yang kemudian
dijadikan menjadi bentuk lain.
Dengan begitu, maka dengan menggunakan kata
“khalaqa” dapat dipahami bahwa kata-kata tersebut merupakan bahan baku
penciptaan manusia.
Disinilah
nampak jelas bahwa Allah Swt menciptakan Adam dari bahan dasar tanah yang
diciptakan atau dibentuk sendiri oleh Allah Swt tanpa adanya campur tangan
unsur lain.
Selanjutnya,
penciptaan anak-cucu Adam. Dalam ayat al-Qur’an, penggunaan kata “thin”,
digunakan dalam konteks pembicaraan mengingatkan anak cucu Nabi Adam as tentang
penciptaan Nabi Adam. Hal itu terlihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti
Q.s. al-Sajdah ayat 7 yang mengingatkan bahwa awal mula diciptakannya manusia
adalah dari “Thin”. Sedangkan dalam konteks pembicaraan yang menjelaskan
penciptaan anak-cucu Adam, digunakan lafadz “sulalatin min thin”, “turab”,
”nuthfah, ‘alaqah, ma-in dafiq. Inilah penjelasan proses
penciptaan manusia yang membutuhkan peran serta unsur lain, yaitu ayah dan ibu.
Dalam teori
biologi, penciptaan manusia berawal dari adanya pertemuan antara sel kelamin
jantan (sperma) dengan sel kelamin betina (ovum) yang kemudian membentuk zigot,
dan seterusnya berproses hingga terbentuklah bayi (manusia baru). Inilah yang
dijelaskan oleh al-Qur’an dalam beberapa ayat secara jelas dan tegas mengenai
prosesnya. Secara lebih jelas, dapat dilihat di Q.s. al-Haj: 5, al-Mukminun:
12-14, dan al-Ghafir: 67. Beberapa ayat tersebut memberikan penjelasan tentang
proses reproduksi. Selain penyebutan bahannya yang beragam, penyebutan proses
kerjanya pun juga menggunakan dua kata kerja sekaligus, yaitu kata “khalaqa”
dan kata “ja’ala”. Perhatikan Q.s. al-Mukminun: 12-14 berikut ini,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ
مِنْ طِينٍ (١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (١٣) ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا
فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ
أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (١٤)
Artinya: “12.
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Pada ayat
diatas, jelas bahwa Allah Swt menciptakan manusia (al-Insan) dari sulalatin
min thin, yang berproses menjadi nuthfah, kemudian ‘alaqah,
kemudian mudhghah, ‘idhaman, lahman, kemudian khalqan
akhar. Kata “sulalatin min thin” hanya digunakan dalam Q.s.
al-Mukminun ayat 12 saja, sedangkan ayat-ayat yang lain, disebutkan dengan
menggunakan kata “turab” sebagai pembentuk nuthfah.
Kata
“Turab” bermakna tanah atau debu. Baik kata “turab” ataupun “sulalatin
min thin” menunjukkan pada unsur pembentuk manusia yang merupakan kandungan
unsur tanah. Dalam ayat-ayat tersebut, sangat jelas bahwa unsur pembentuk nuthfah
adalah “turab” dimana pembentukan nuthfah membutuhkan waktu dan
proses. Hal itu nampak dari kata tsumma yang digunakan.
Dalam menciptakan
manusia dari sulalatin min thin, digunakan kata “khalaqa” dengan
dhamir “nahnu” yang berarti “kami”. Penggunaan dhamir tersebut,
menunjukkan bahwa proses pembentukan sulalatin min thin menjadi nuthfah
terdapat peran serta unsur lain, yaitu manusia. Hal itu karena, sari pati tanah
yang berada pada bahan makanan dan dimakan oleh manusia, barulah berproses
menjadi unsur pembentuk nuthfah. Proses pertemuan nutfah
laki-laki dengan perempuan pun terdapat proses yang cukup lama. Karena itulah
dalam ayat tersebut digunakan kata sambung “tsumma” bukan menggunakan
kata sambung “fa”.
Setelah antara
laki-laki dan perempuan menikah, dan nuthfah mereka bertemu, maka akan
berjalan proses-proses selanjutnya. Hal itu dapat dilihat dalam penggunaan kata
sambung dalam ayat-ayat tersebut. Begitu pula proses pembentukan nuthfah
menjadi ‘alaqah juga membutuhkan proses yang lama. Berbeda dengan proses
selanjutnya yang menggunakan kata sambung “fa” yang menunjukkan waktunya
yang cepat.
Menurut
penjelasan Qomarulhadi, setelah terpancarnya sperma laki-laki, maka dibutuhkan
waktu 8 jam untuk sel sperma tersebut menemuka sel telur. Setelah bertemunya
sel sperma dengan sel telur, terjadilah proses fertilisasi[6] yang akan membentuk zigot, yang kemudian membentuk
morula.[7]
Proses
pembentukan bayi memang sangat lama. Menurut Syahmuharnis dan Harry Sidarta
dalam bukunya, terdapat 3 tahapan kehidupan didalam rahim, pertama
pre-embrionik (dua setengah minggu pertama), embrionik (sampai akhir minggu
kedelapan) dan janin (dari minggu kedelapan sampai kelahiran).[8] Dia juga menjelaskan secara sederhana, pada fase atau
tahap pre-embrionik, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan
terbentuklah segumpalan sel yang kemudian menanamkan diri dalam dinding rahim.
Sejalan dengan pertumbuhan zigot yang semakin membesar, sel-sel penyusunnya
mengatur diri mereka sendiri guna membentuk tiga lapisan. Selanjutnya, pada
tahap embrionik, organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk dari
lapisan-lapisan sel tersebut menjadi embrio yang prosesnya berlangsung selama lima
setengah minggu. Tahap selanjutnya adalah tahap fetus yang menyerupai manusia
dengan wajah, kedua tangan dan kakinya yang pada awalnya hanya memiliki panjang
3 cm, kemudian terus berproses dan mengalami perkembangan selama kurang lebih
30 minggu, dan terus berkembang hingga masa kelahiran.[9]
Jika membaca
pemaparan Syahmuharnis dan Harry Sidarta ini, tergambar bahwa proses terlama
adalah pada fase embrionik, yaitu waktu lima setengah minggu (kurang lebih 63
hari atau 2 bulan). Itulah proses dari nuthfah menjadi ‘alaqah.
Selanjutnya, berdasarkan ayat terdapat empat proses, yaitu mudhghah, ‘idhaman,
lahman, kemudian khalqan akhar, yang dalam teori diatas terjadi
selama 30 minggu (kurang lebih 210 hari atau 7 bulan). Dengan asumsi hitungan
matematika tersebut, berarti setiap proses membutuhkan waktu kurang lebih 52
hari (1 bulan, lebih 22 hari).
Termasuk kata
kerja “menciptakan” menggunakan lafadz “Khalaqa” atau menggunakan
lafadz “Ja’ala”, karena dua kata kerja tersebut, diterjemahkan dengan
kata yang sama, namun memiliki konotasi arti yang berbeda-beda.
Jika melihat dari kata kerja yang
digunakan, baik yang menggunakan bahan dari sholshol, thin, dan
lain sebagainya menggunakan lafadz “khalaqa”. Mengapa semuanya menggunakan kata “khalaqa”,
karena baik turab, thin, nuthfah, dan lain sebagainya
bukanlah sesuatu yang telah tercipta, namun merupakan bahan baku yang terkumpul
dari beberapa unsur pembentuk.
Disitulah nampak bagaimana Allah Swt
memberikan penjelasan akan unsur pembentuk manusia yang pada asalnya berasal
dari unsur campuran air dan tanah. Dengan hal itu, maka harus dipahami bahwa
unsur tanah merupakan unsur yang tenang, unsur yang penuh dengan ketunduhan dan
kerendahan. Seharusnya, sikap itulah yang harus muncul dan berkembang dalam
diri seseorang sebagaimana fithrahnya.
b.
Hakikat
Manusia
Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan tiga
kata kunci pokok, diantaranya adalah dengan al-Insan, al-Nas, dan al-Basyar.
Tiga kata itu merupakan kata kunci yang menunjukkan manusia dalam beberapa
unsur dan eksistensinya. Sedangkan kata yang lain, misalkan bani adam, hanya
sebatas menunjukkan pada peringatan bahwa manusia berasal dari nenek moyang
yang satu, yaitu Nabi Adam as dan siti Hawa. Begitu pula kata lain yang
menunjuk pada manusia, yaitu kata dzakarun dan Untsa yang hanya menunjuk pada manusia
secara jenis kelamin.
Oleh karena itulah, dalam kajian tentang
penyebutan manusia, hanya akan difokuskan pada al-Insan, al-Nas, dan al-Basyar.
1.
Al-Insan
dan Al-Nas
Menurut Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak,
kata “al-Insan” disebut sebanyak 65 kali dengan tiga makna; yaitu: pertama,
Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia; kedua, Insan dihubungkan
dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah, dan ketiga, Insan
dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia.[10]
Kata “al-Insan” dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti Q.s.
al-Hijr: 26, Q.s. al-Rahman: 14, al-Mukminun: 12, al-Sajdah: 7, al-Nahl: 4,
Yasin: 77, al-Insan: 2, al-Thariq: 5-6, al-‘Alaq: 2 dan al-Tin: 4. Ayat-ayat
diatas, menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan manusia (al-Insan) terdapat
beberapa unsur bahan baku. Selain itu, manusia (al-Insan) diciptakan oleh Allah
dalam sebaik-baik bentuk penciptaan (Q.s. al-Tin: 4).
Kemudian, kata “al-Insan” dihubungkan
dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah, dijelaskan dalam surat
al-Qiyamah: 3 dan 36; al-Najm: 39, al-Ahzab: 72, dan al-Ankabut: 8. Sebagai
seseorang yang menanggung amanah (al-Ahzab: 72), dijelaskan bahwa “al-Insan” harus
berbuat baik dan memiliki kepedulian sosial (al-Ankabut: 8), karena segala yang
dia lakukan akan dipertanggung jawabkan kepada Allah (al-Qiyamah: 3 dan 36) dan
seseorang akan mendapatkan atau dibalas sesuai dengan apa yang dikerjakannya
(al-Najm: 39). Oleh karena itulah, “al-Insan” lah yang dimusuhi oleh Syaithan
(al-Isra’: 53).
Sedangkan kata “al-Insan” dihubungkan
dengan predisposisi negatif manusia. Berkaitan dengan hal itu, dijelaskan bahwa
manusia memiliki beberapa sisi negatif. Sisi negatif yang ada dalam diri
manusia, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an adalah: Bodoh (Q.s. al-Ahzab: 72), Lemah (Q.s. al-Nisa: 28, QS. Al-Haj: 73,
dan QS. Ar-Rum: 54), Kikir (QS. 'Ali `Imran : 180, QS.
An-Nisa' : 37, QS. At-Taubah : 76, QS. Al-Hadid : 24, QS. Al-Hashr : 9, QS.
At-Taghabun : 16, QS. Al-Layl : 8), Tergesa-gesa (QS. Al-'Isra' : 11, QS. Al-'Anbya' : 37 ),
Keluh kesah (QS. Al-Ma`arij : 19),
suka membantah atau mendebat (QS. Al-Kahfi : 54), tidak mau berterima kasih (al-Adiyat: 6), melampaui batas (Q.s.
al-Alaq: 6) dan meragukan hari kebangkitan (Q.s. Maryam: 66).
Dari penjelasan diatas, kata “al-Insan”
dapat dipahami sebagaimana asal katanya. Menurut Ibnu Faris berakar dari kata alif,
nun, dan sin, yang bermakna “menampakkan sesuatu”.[11]
Penjelasan Ibnu Faris tersebut, mengindikasikan bahwa terdapat kesamaan makna
antara “al-Insan” dengan “al-Nas” karena memiliki akar kata yang sama, yaitu
huruf alif, nun, dan sin.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata
“al-Insan” berarti jinak, harmonis dan tampak. Kata ini juga dapat terambil
dari kata “nasiya” yang bermakna lupa. Sehingga, kata “al-Insan” lebih
menunjukkan makna dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. [12]
Selanjutnya, kata “al-Nas”, sebagaimana
dikemukakan oleh Atang Abd. Hakin dan Jaih Mubarak, dikemukakan bahwa kata
“al-Nas” disebut dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang mengacu pada makhluk
sosial.[13]
Sebagai makhluk sosial, manusia dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok sosial
dan karakteristiknya; kedua; banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan
kualitasnya. Selain itu, dalam konteks sosial manusia merupakan makhluk yang
memiliki keseimbangan potensi, yaitu baik dan buruk, ingat dan lupa, dan lain
sebagainya. Oleh karena itulah, dalam konteks Allah mengingatkan manusia agar
beribadah, selalu menggunakan kata “al-Nas” bukan kata “al-Insan”.
Itulah mengapa, dijelaskan bahwa manusia
diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (QS. At-Tin : 4), dan disebutkan pula bahwa
Allah Swt memulyakan bani Adam (QS. Al-'Isra' : 70)
2.
Basyar
Kata yang paling sedikit digunakan untuk
menyebut manusia adalah kata “al-Basyar”, karena secara makna lughawi, kata
basyar tidak selalu identik dengan makna manusia. Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarak menjelaskan, kata “Basyar”, dalam al-Qur’an disebut sebanyak 27
kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis.[14]
Adapun acuan dari pendapat ini adalah Q.s. Ali Imran: 47, al-Kahfi: 110,
Fushilat: 6, al-Furqan: 7 dan 20, dan Yusuf: 31.
Ibnu Jarir al-Thabari, ketika menafsirkan
surat Fushilat: 6 menjelaskan bahwa Muhammad Saw itu adalah manusia dari
keturunan Adam sebagaimana manusia lainnya dalam hal jenis, bentuk dan struktur
fisiknya.[15]
Begitulah makna kata “Basyar”, dalam
al-Qur’an, sebagaimana digunakan kata tersebut misalnya dalam cerita Maryam
yang mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak padahal dia belum pernah
disentuh oleh “Basyar” (Q.s. Ali Imran: 47). Begitu pula Nabi Muhammad Saw,
secara biologis pun sama dengan manusia yang lainnya (Q.s. al-Kahfi: 110 dan
Q.s. Fushilat: 6). Secara fisik, Nabi Yusuf dikatakan sebagai “Basyar”
oleh wanita mesir saat terkagum-kagum dengan ketampanannya.
Oleh karena itulah, Quraish Shihab mengungkapkan
bahwa kata “Basyar” digunakan dalam al-Qur’an dikaitkan dengan kedewasaan
manusia dalam kehidupannya, khususnya secara biologis yang menjadikannya
memikul tanggung jawab. Sebagaimana dicontohkan diatas dalam cerita Maryam,
cerita Nabi Yusuf yang disebut dengan “Basyar” untuk menunjukkan makna
kematangan secara biologis dan kedewasaan bentuk.
3.
Hubungan
antar Makna
Dalam penciptaan manusia, kata yang
digunakan untuk menjelaskannya banyak disebut dengan kata “Insan”, dari pada
kata “Basyar”. Hal itu menunjukkan bahwa inti dari tujuan penciptaan manusia,
lebih menunjukkan pada pentingnya aspek spiritual daripada aspek jasad
(basyariyah). Manusia disebut baik apabila ada keseimbangan antara sifat
Basyariyah dan Insaniyah, namun manusia akan dianggap beradab, bermoral,
shalih, ketika aspek insaniyah (spiritual) lebih dikedepankan daripada aspek
basyariyah. Dengan kata lain, penentu kebaikan, kesalehan manusia bukan
terletak pada bentuk fisik, namun lebih kepada aspek spiritual dan moral yang
baik. Ketika aspek insaniyah seseorang baik, akan terpancar dan membuat
kebaikan aspek basyariyah (fisik).
Manusia disebut pula dengan kata “al-Nas”,
adalah manusia yang memiliki keseimbangan potensi, yaitu baik dan buruk, ingat
dan lupa, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, dalam konteks Allah
mengingatkan manusia agar beribadah, selalu menggunakan kata “al-Nas”
bukan kata “al-Insan”.
Dari uraian diatas, memberikan gambaran
tentang hakikat manusia yang merupakan makhluk yang secara individu, terdiri
dari dua unsur, yaitu unsur materi (basyariyah) dan unsur non materi atau
ruhani (Insaniyah). Dari segi materinya, dia berkedudukan sama dengan makhluk
Allah Swt yang lain seperti matahari, bintang, tumbuhan, dan lain sebagainya
yang memiliki potensi musayyar (tunduk pada taqdir Allah), sedangkan
dari sisi Insaniyyah, manusia dikenai hukum dan diberi kekuatan untuk keluar
dari hukum tersebut, maka dia secara otomatis menjadi makhluk mukhayyar.[16]
Disinilah dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang dalam satu sisi dia
harus tunduk kepada taqdir Allah Swt tanpa dapat merubahnya sedikitpun, namun
disisi yang lain dia diberikan kekuatan untuk berusaha dan bertindak
mengembangkan potensi dan kekuatannya untuk keluar dari kondisi yang tidak
disukainya.
C.
TUGAS
DAN FUNGSI MANUSIA
1.
Manusia
sebagai ‘Abdun
Jika mengacu pada konsep al-Qur’an, tugas
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.Begitulah ditegaskan dalam Q.s.
adz-Dzariyat: 56.
Peribadatan yang dilakukan oleh manusia,
diharapkan muncul dari kesadaran status dan posisi kehambaan manusia sehingga
dengan sadar dan ikhlas menyembah dan beribadat kepada-Nya.[17]
Sedangkan secara filosofis, manusia hidup
adalah berusaha agar mampu menganalisis persoalan hidup dan kehidupan yang
dialami, baik pada masa lalu, masa sekarang dan masa depan.[18]
Proses analisis hidup dan kehidupan pun juga bagian dari ibadah.
Ibadah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi
khusus dan umum. Dengan kata lain, Ibadah dapat bersifat ritual individu, dapat
bersifat sosial. Atau Ibadah yang bersifat vertikal dan horisontal. Ibadah yang
bersifat khusus,ritual individu, atau vertikal merupakan penghambaan kepada
Allah Swt dalam bentuk ritual dengan cara-cara yang diatur secara khusus dalam
sunnah. Sedangkan ibadah umum, sosial, atau horizontal adalah ibadah
kemanusiaan atau perbuatan baik yang diniatkan untuk menggapai ridha Allah,
tanpa adanya ketentuan dan cara-cara khusus, seperti menolong sesama,
menghormati orang tua, dan lain sebagainya.
Karena keselamatan manusia, bukan hanya
disebabkan karena hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, namun
juga harus sesuai hubungan antara manusia dengan sesama manusia yang lain untuk
mewujudkan keharmonisan, keserasian, keselarasan hidup dan kehidupan.
2.
Manusia
sebagai Khalifah
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam
Q.s. al-Baqarah: 30, bahwa fungsi manusia adalah sebagai “khalifah” di
bumi. Bukan hanya dalam Q.s. al-Baqarah: 30, namun juga disebutkan di ayat-ayat
lain, seperti Q.s. al-Naml: 62, Fatir: 39, al-A’raf: 129, dan Shad: 26.
Dalam Q.s. a-Baqarah: 30, dijelaskan bahwa
Allah Swt akan menjadikan khalifah di bumi, namun para malaikat seakan tidak
sepakat dengan hal itu, karena dikhawatirkan manusia akan banyak berbuat
kerusakan dan melakukan pertumpahan darah. Di Q.s. al-Naml: 62 yang merupakan
peringatan bahwa yang mengabulkan doa dan yang telah menjadikan manusia sebagai
khalifah di bumi adalah Allah. Dalam Q.s. Fatir ayat 39, dikemukakan oleh Allah
bahwa fungsi manusia adalah sebagai khalifah, maka ketika manusia justru ingkar
kepada Allah, maka keingkarannya tersebut hanya akan menambah kemurkaan Allah
dan kerugian bagi manusia sendiri. Berbeda dengan Q.s. Al-A’raf ayat 129 yang
berbicara dalam konteks pengaduan kaumnya Nabi Musa as akan penindasan Fir’aun
kepada mereka, kemudian Nabi Musa as menghibur mereka dengan mengatakan
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di
bumi(Nya),”. Sedangkan pada Q.s. Shad: 26, berbicara dalam konteks penjelasan
Allah Swt kepada Nabi Daud as, bahwa Nabi Daud as adalah khalifah Allah di
bumi, maka sudah semestinya Nabi Daud as memutuskan hukum dengan adil dan tidak
mengikuti hawa nafsu.
Melihat beberapa konteks pembicaraan
diatas, maka makna khalifah semua dipahami seperti halnya makna bahasanya,
yakni berasal dari akar kata “khalafa” yang bermakna pengganti,
suksesor, pewaris tahta.
Pembicaraan tentang khalifah tersebut,
mengindikasikan bahwa Allah Swt menciptakan manusia bukan untuk main-main[19],
namun Allah Swt menempatkan manusia pada posisi yang layak untuk diberikan
kepercayaan mengatur alam, memperbaiki nilai-nilai sosial yang ditemukan dalam
seluruh kehidupan masyarakat. [20]
Sebagai khalifah, maka manusia harus
memiliki minimal tiga kesadaran-sebagaimana dikemukakan Quraish Shihab-, tentang
unsur kekhalifahan, yaitu: (a) manusia sebagai khalifah, (b) bumi sebagai
tempat tinggal dan (c) tugas kekhalifahan yang dibebankan kepadanya oleh Allah
Swt. Melalui tugas kekhalifahan, manusia dituntut dengan proses pemeliharaan,
pengaturan dan pengelolaan, pengayoman, dan pengarahan makhluk hidup sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya,[21]
serta menjaga ekosistem bumi dan menghindarkannya dari kerusakan sebagaimana
yang ditegaskan dalam Q.s. Hud: 11.[22]
Dengan kata lain, manusia diberikan misi oleh Allah Swt untuk berjuang
menciptakan tata sosial yang bermoral diatas bumi.[23]
Karena, kerusakan bumi akan terjadi ketika sistem moral telah hilang dalam kehidupan
individu dan sosial. Oleh karena itulah, Rasulullah Saw bersabda: “Aku
tidaklah diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak”
Sebagai khalifah, manusia diberikan hak dan
kewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan bumi sesuai dengan keinginan atau
aturan dari sang Pemilik (Allah Swt). Tentunya dengan konsekwensi logis, yakni mempertanggung
jawabkan amanahnya kepada Allah Swt.
Sebagai pengemban amanah, maka manusia
harus memanfaatkan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya, potensi
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sehingga dia tidak dapat keluar
dari otoritas hukum alam dan hukum sosial.[24]
Sebagai makhluk individu, manusia harus
menyeimbangkan antara unsur jasadi dan ruhani. Jasad melindungi hati dan
fikiran. Fikiran adalah gerak akal untuk kecerdasan, mendapatkan kepandaian
untuk kesejahteraan hidup. Sedangkan hati untuk keimanan. Itulah kelengkapan yang sempurna pada diri
manusia, yaitu hati (fuad) dan fikiran (fikr).[25]
Untuk memenuhi fungsi jasmaniyah, tidak hanya mengandalkan tingkah laku
rasional, namun faktor spiritual pun menjadi penting untuk melangsungkan
kehidupannya dengan baik. Karena itulah, secara individu,manusia membutuhkan
agama.[26]
Karena dengan agama, manusia secara individu akan terbangun moral dan akhlaknya[27],
dan kemudian dengan moral dan akhlak itulah yang akan menjadi penopang
keberhasilan hidupnya sebagai makhluk sosial.
Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia
harus melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam interaksi, dibutuhkan
seperangkat aturan yang mengatur hubungan sosial sehingga membawa pada
keharmonisan hidup dan kehidupan, yang dalam hal ini pun juga dibutuhkan agama
sebagai seperangkat aturan hukum kehidupan yang membawa manusia pada kesadaran
insaniyyah menuju pada kesadaran Illahiyah.
Kesadaran Insaniyah, yang tercermin dalam
kesalehan individu, harus diaktualisasikan menjadi kesalehan sosial yang akan
membawa pada keharmonisan hidup dan kehidupan, sebagai bukti kesalehan
Ilahiyah, yakni kesadaran untuk mengaktualisasikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan,
seperti sikap saling menyayangi, mengasihi, memaafkan, dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan hal tersebut, menurut
Din Zainuddin, diperlukan pengenalan diri dan potensinya serta penguasaan
pengetahuan untuk lebih mengenal jati dirinya dengan mengenal bumi sebagai
wilayah pengelolaannya, pengenalan dan penggalian rahasia alam dan juga hukum
alam, dengan misalnya melakukan observasi, dan menjaga kestabilan sistem alam.[28]
Artinya, sebagai khalifah di bumi, manusia membutuhkan ilmu. Karena itulah mengapa
orang yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya oleh Allah Swt, sebagaimana
dikemukakan dalam Q.s. al-Mujadallah: 11.
Dengan adanya Iman dan Ilmu, manusia akan
dapat memahami dan mengenal hakikat diri dan tujuan penciptaannya. Pengenalan
diri tersebut yang akan menjadikan manusia memiliki sikap arif, bijaksana, tepa
selira, rendah hati dan mampu menghargai orang lain. Sebaliknya, tidak adanya
pengenalan terhadap hakikat dirinya, akan menjadikan dirinya sombong, arogan,
tidak menghargai orang lain dan hanya kepentingan dirinyalah yang dijadikan
ukuran segala-galanya.[29]
Dengan sikap arogan, sombong dan
sikap-sikap buruk lainnya, maka manusia tidak akan mampu melaksanakan tugas
kekhalifahan dengan baik. Karena, sikap-sikap tersebut, akan memunculkan kekacauan
dalam sistem sosial dan individu. Begitulah, banyak ayat al-Qur’an dan hadis
Rasulullah Saw yang mengingatkan akan bahaya sikap sombong agar manusia dapat
menjauhinya. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa orang yang dalam
hatinya terdapat setitik kesombongan, maka dia tidak akan masuk syurga. Karena,
dengan itu berarti dia tidak berhasil melaksanakan amanah yang diberikan oleh
Allah Swt kepadanya, yaitu sebagai khalifah
fil ardh.
D.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa al-Qur’an memiliki konsep yang menyeluruh tentang manusia.
Menurut al-Qur’an, manusia yang seutuhnya merupakan manusia yang memiliki
keseimbangan antara unsur jasadiyah (basyariyah) dan unsur ruhaniyah
(insaniyyah). Keseimbangan ini harus dibuktikan dalam pemenuhan kebutuhan
keduanya secara berimbang dan tidak boleh dikesampingkan dan diunggulkan satu
dengan yang lainnya.
Selain itu, manusia bukan hanya makhluk
individu yang hidup menyendiri, namun dia juga merupakan makhluk sosial yang
memiliki konsekwensi untuk berinteraksi dengan lingkungannya, membangun
kerjasama dan sinergi dengan sesamanya. Hal itu juga membawa konsekwensi bahwa
seorang manusia tidak boleh hanya memikirkan hak dan kewajiban terhadap
pribadinya, namun juga harus memenuhi hak dan kewajiban kepada sesamanya. Hal
itu merupakan satu kesatuan utuh untuk mewujudkan tugas dan fungsinya sebagai khalifah
fil ardh. Wallahu a’lam bish-shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku:
al-Baghawi,
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Ma’alim al-Tanzil, Juz. IV, cetakan 1
(Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001).
al-Thabari,
Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIV,
cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001).
al-Thabari,
Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Juz. XX,
cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001)
Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cetakan 7 (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2004).
Din
Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju Pencerahan Spiritual, cetakan
1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005)
Faisal
Ismail, Percikan-Percikan Pemikiran Islam, cetakan 1 (Yogyakarta: Bina
Usaha, 1984).
Ibnu
Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz. II (Mesir: Dar al-Fikr, tt).
Ibnu
Katsir, Abu al-Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasqiy, Tafsir
al-Qur’an al-Adhim, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa
al-Tazi’, 2001).
Irfan
Hielmy, Modernisasi Pesantren: Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah
(t.tp: Penerbit Nuansa, tt).
Jacques
Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-Tema Unggulan dalam Al-Qur’an, terj.
Hasan Basri, cetakan 1 (Jakarta: Balai Kajian al-Qur’an Pase, 2002).
Khadziq,
Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, cetakan
1 (Yogyakarta: Teras, 2009).
Mawardi
dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya
Dasar, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Mudhofir
Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih Kontemporer, cetakan 1
(Yogyakarta: Teras, 2011).
Musa
Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, cetakan 1
(Yogyakarta: LESFI, 2002).
Nasruddin
Razak, Dienul Islam: Penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah dan way
of life, cetakan 7 (Bandung: Al-Ma’arif, 1984)
Qomarulhadi,
Membangun Insan Seutuhnya: Sebuah Tinjauan Anthropologis Menuju Kepada
Kehidupan yang Tanggap, cetakan 2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1986).
Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013)..
, Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, cetakan 1 (Bandung:
Mizan, 2007).
, Secercah
Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an, edisi kedua, cetakan 2 (Bandung:
Mizan, 2013).
Rohadi
Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi dalam Islam, cetakan 3
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005).
Syahmuharnis
dan Harry Sidarta, Transcendental Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik,
cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007).
Internet:
http://www.edubio.info/2015/03/fertilisasi-pada-manusia.html,
rabu, 28 desember 2016.
[1] Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil al-Qur’an, Juz. XIV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa
al-Tazi’, 2001), h. 57.
[2] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim
al-Tanzil, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa al-Tazi’,
2001), h. 378.
[3] Abu al-Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al-Qurasyi
al-Dimasqiy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz. IV, cetakan 1 (Mesir: Hijr
li al-Thaba’ah wa al-Tazi’, 2001), h. 533.
[5] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan,
dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 133.
[6] Fertilisasi atau pembuahan adalah
peristiwa penyatuan sperma dengan ovum yang terjadi pada makhluk hidup. Pada
manusia, sperma dihasilkan di testis sedangkan ovum dihasilkan di ovarium.
Peristiwa fertilisasi pada manusia terjadi pada tuba falopi di tubuh wanita.
Penyatuan ini akan menghasilkan zigot yang akan berkambang menjadi embrio
manusia yang baru.
(diakses dari: http://www.edubio.info/2015/03/fertilisasi-pada-manusia.html,
rabu, 28 desember 2016)
[7] Qomarulhadi, Membangun Insan Seutuhnya: Sebuah
Tinjauan Anthropologis Menuju Kepada Kehidupan yang Tanggap, cetakan 2
(Bandung: Al-Ma’arif, 1986), h. 96-98.
[8] Syahmuharnis dan Harry Sidarta, Transcendental
Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik, cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007), h.
91.
[9] Syahmuharnis dan Harry Sidarta, Transcendental
Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik, cetakan 2 (Jakarta: Republika, 2007), h.
91.
[10] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 206.
[12] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik
atas Pelbagai Persoalan Umat, cetakan 1 (Bandung: Mizan, 2007), h. 369.
[13] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 208-209.
[15] Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil al-Qur’an, Juz. XX, cetakan 1 (Mesir: Hijr li al-Thaba’ah wa
al-Tazi’, 2001), h. 378.
[16] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam, cetakan 7 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 209.
[17] Faisal Ismail, Percikan-Percikan Pemikiran Islam,
cetakan 1 (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), h. 59.
[18] Rohadi Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi
dalam Islam, cetakan 3 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 26.
[20] Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas
Tema-Tema Unggulan dalam Al-Qur’an, terj. Hasan Basri, cetakan 1 (Jakarta: Balai
Kajian al-Qur’an Pase, 2002), h. 53.
[21] Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama
al-Qur’an, edisi kedua, cetakan 2 (Bandung: Mizan, 2013), h. 373.
[22] Din Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju
Pencerahan Spiritual, cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005), h. 58;
Nasruddin Razak, Dienul Islam: Penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah
dan way of life, cetakan 7 (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), h. 21.
[23] Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih
Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 193.
[24] Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu
Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar, cetakan 1 (Bandung: Pustaka Setia,
2000), h. 211.
[25] Irfan Hielmy, Modernisasi Pesantren: Meningkatkan
Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah (t.tp: Penerbit Nuansa, tt), h. 80.
[26] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami
Realitas Agama dalam Masyarakat, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2009), h.
113.
[27] Mudhofir Abdullah, Masail al-Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih
Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 193.
[28] Din Zainuddin, Menembus Ruang dan Waktu Menuju
Pencerahan Spiritual, cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2005), h. 58.
[29] Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan
Spiritual, cetakan 1 (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 5.
Post a Comment