ASURANSI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
OLEH: Ustadzah Nur Sutianingsih
PENDAHULUAN
Islam, merupakan agama yang dalam aturan dan undang-undangnya, bukan hanya mengatur urusan aqidah (keimanan) dan ‘ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah Swt saja. Namun, didalam agama Islam, diatur pula urusan muamalah. Bahkan, didalam al-Qur’an yang merupakan qanun al-asasi (undang-undang atau dasar pokok) dalam Islam, sebagian besar ayatnya mengatur tentang hukum muamalah, mulai dari masalah pernikahan, jual-beli, hukum pidana, perdata, dan lain sebagainya.
Sebagai undang-undang pokok, al-Qur’an lebih banyak menyebutkan patokan universal dibandingkan dengan penjelasan secara terperinci. Oleh karena itulah, terdapat banyak hal yang mungkin tidak secara tersurat didalam teks al-Qur’an, namun secara tersirat hal tersebut diatur didalam al-Qur’an. Dengan begitu, umat Muslim harus selalu melakukan kajian terhadap al-Qur’an, agar diperoleh pemahaman yang detail berkaitan dengan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan. Selain itu, juga agar diperoleh kejelasan atas suatu hukum dan juga manfaat dari adanya hukum tersebut.
Salah satu dari sekian banyak masalah yang dibahas dalam hal muamalah adalah masalah asuransi. Didalam al-Qur’an, secara tersurat tidak ditemukan ayat yang memberikan penjelasan tentang asuransi, termasuk penjelasan detail tentang hukum asuransi. Padahal, asuransi merupakan produk modern yang keberadaanya dianggap penting dalam kehidupan, bahkan keberadaannya sudah sangat luas dimanfaatkan oleh semua orang, termasuk didalamnya umat Islam.
Sebagai gambaran umum tentang asuransi, dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Sebagai contoh, semisal kita mengalami kerugian akibat dari kecelakaan atau kematian, maka kita atau ahli waris kita berhak menerima ganti rugi. Tentunya, uang ganti rugi tersebut sebenarnya juga berasal dari sejumlah uang yang telah dibayarkan dan kemudian dikelola oleh pihak atau perusahaan asuransi.
Gambaran umum berkaitan dengan asuransi sebagaimana telah dijelaskan, tentu menjadi menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, agar masalah berkaitan dengan hukum asuransi dapat dipecahkan. Kajian tersebut, diperlukan untuk menjawab permasalahan berkaitan dengan boleh dan tidaknya asuransi menurut Islam, dan apa yang menjadi tujuan asuransi. Hal inilah yang akan menjadi bahasan pokok dalam makalah ini, dengan melakukan kajian atas beberapa ayat al-Qur’an yang secara tersurat memberikan dalil umum berkaitan dengan asuransi.
Kajian terhadap ayat al-Qur’an dalam masalah asuransi merupakan kajian yang penting karena asuransi merupakan bagian pembahasan tindakan ekonomi, dimana ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang berhukum kepada al-Qur’an dan hadis dan dikembangkan melalui proses proses penalaran akal budi (ijtihad). Sehingga, kajian terhadap al-Qur’an dan hadis merupakan bentuk pengembangan akal budi yang bertujuan memahami wahyu secara tepat dan kontekstual sehingga dapat diterapkan dalam menjawab problem kehidupan.
GAMBARAN UMUM TENTANG ASUSANSI
Definisi Asuransi
Sebelum melakukan kajian dan pembahasan berkaitan dengan ayat al-Qur’an, terlebih dahulu perlu diketahui definisi atau pengertian dari Asuransi. Menurut bahasa, asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan.
Dalam bahasa Arab, asuransi sering disebut dengan istilah al-ta’min (التامين) yang berasal dari kata amana (امن) yang berarti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.
Dari makna bahasa sebagaimana diatas, maka Asusansi dapat dipahami sebagai usaha untuk menanggung, melindungi, mengamankan dan membebaskan dari rasa takut.
Buchari Alma dan Kutbuddin Aibak, mendefinisikan asuransi dengan mengambil definisi dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), pasal 246. Pada pasal tersebut, dikemukakan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu. Jadi pada hakikatnya asuransi adalah perjanjian peruntungan.
Menurut Mohammad Muslehuddin, secara ringkas dan umum, konsep asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Musthafa Ahmad Az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh Wirdyaningsih, memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan perjanjian yang mengikat antara dua pihak atau lebih, dimana dalam perjanjian tersebut terdapat interaksi antara kedua pihak, seperti saling tanggung jawab, saling bekersama dan saling membantu, serta saling melindungi dari kesusahan.
Kesimpulan diatas, memberikan gambaran pula berkaitan dengan unsur yang ada dalam asuransi, yaitu: Pertama, pihak tertanggung, yang membayar premi asuransi, baik dicicil ataupun sekaligus, yang mengangsuransikan kemungkinan resiko yang mungkin akan terjadi; Kedua, pihak penanggung yaitu perusahaan yang berkewajiban membayar ganti rugi apabila terjadi resiko, dan Ketiga, suatu kejadian atau resiko yang dipertanggungkan.
Tujuan Asuransi
Mustafa Al-Bugha, sebagaimana dikemukakan oleh Zaidi Abdad,bahwa tujuan asuransi tergantung dari jenisnya. Asuransi ta’awun, bertujuan semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudharatan atas diri salah seorang anggotanya. Sedangkan asuransi bi qist Tsabit, bertujuan untuk mendapatkan keuntungan disamping melakukan beberapa jaminan terhadap para pesertanya.
Selain penjelasan diatas, Masjfuk Zuhdi juga mengemukakan bahwa tujuan dari asuransi adalah mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa maslahat bagi keluarga.
Dengan melihat konsep tujuan asuransi sebagaimana diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya asuransi memiliki tujuan yang baik, yaitu mewujudkan kemaslahatan bersama dalam bingkai kerjasama yang saling menguntungkan.
Macam-Macam Asuransi
Setelah dikemukakan tentang pengertian atau definisi asuransi, maka menjadi penting pula untuk diketahui tentang macam-macam asuransi. Menurut penjelasan dari pakar ekonomi, asuransi dapat dibedakan menjadi beberapa macam.
Berdasarkan pada penjelasan yang dikemukakan oleh Natasha Gena Patriani, asuransi dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah. Menurutnya, bisnis asuransi konvensional masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan Negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuran di Negara kita ini sebagian akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya. Sedangkan asuransi syariah, diawali oleh peran cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui Yayasan Abadi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan asuransi Tugu sepakat memprakarsai pendirian asuransi tafakul, dan tiga lembaga ini membentuk Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia yang di pimpin oleh Rahmat Saleh selaku Direktur Utama Syarikat Tafakul Indonesia (STI).
Bahkan perbedaan utama pada asuransi syariah dan asuransi konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan asuransi konvensional bertujuan panggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundang-undangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundang-undangan dan ketentuan syariah.
Berbeda dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Zaidi Abdad, bahwa pada dasarnya asuransi dapat dibedakan menjadi asuransi Ta’awun (asuransi tolong-menolong) dan asuransi bi qist Tsabit (asuransi dengan pembagian tetap).
Zaidi juga menjelaskan pembagian asuransi menurut Musthafa al-Bugha yang membagi asuransi dalam dua kelompok, yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Dari beberapa perbedaan jenis atau pembagian asuransi diatas, dapat disimpulkan bahwa asuransi memiliki banyak konsep yang masing-masing kelompok memiliki perspektif sendiri-sendiri. Dengan begitu, maka tidaklah mengherankan apabila didalam memberikan hukum terhadap asuransi inipun ulama juga berbeda pendapat.
PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN PARA ULAMA BERKAITAN DENGAN HUKUM ASURANSI.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa para pakar memiliki perbedaan perspektif berkaitan dengan asuransi dan pembagiannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal asuransi, para tokoh atau para pakar memiliki perspektifnya masing-masing untuk mengemukakan tentang konsep asuransi dan pembagiannya.
Bukan hanya berkaitan dengan konsep dan pembagian asuransi, namun berhubungan dengan hukum asuransi pun para ulama telah berbeda pendapat.
Menurut Yusuf Qadhawi, asuransi jiwa adalah sesuatu yang diharamkan dengan alasan syarat-syarat kerjasama tidak terpenuhi dalam konsep tersebut. Pandangan serupa dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili yang juga menyatakan bahwa asuransi jiwa hukumnya haram. Namun, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang berbeda tentang hal itu. Menurutnya, asuransi jiwa disamakan dengan akad mudharabah sehingga hal itu diperbolehkan. Pendapat yang sama dengan Muhammad Abduh juga dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf.
Masjfuk Zuhdi dalam bukunya juga mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) pendapat dikalangan cendekiawan muslim berkaitan dengan hukum asuransi, diantaranya: pertama, golongan yang mengharamkan asuransi apapun bentuknya; kedua, membolehkan semua asuransi dalam praktek yang sekarang; ketiga, membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial; keempat, menganggap asuransi sebagai suatu syubhat.
Dari beberapa penjelasan berkaitan dengan asuransi dan perbedaan para ulama berkaitan dengan hukum asuransi, maka kajian Islam tentang hal tersebut menjadi sangat penting. Sehingga diharapkan akan ditemukan titik terang tentang hukum asuransi dalam perspektif Islam.
ASURANSI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa secara pesifik tidak ditemukan dalil khusus berkaitan dengan asuransi. Hal ini karena asuransi merupakan produk modern yang tidak ditemukan pada zaman Nabi Muhammad Saw.
Meskipun tidak ditemukan dalil khusus yang berbicara tentang asuransi, namun terdapat dalil umum yang mungkin dijadikan landasan untuk menjelaskan tentang hukum asuransi dalam Islam. Dalil yang dimasuksud adalah Q.s. al-Baqarah ayat 195 dan Q.s. al-Tahrim ayat 6.
Didalam surat al-Baqarah ayat 195, dijelaskan sebagai berikut
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Selanjutnya dalam Q.s. al-Tahrim ayat 6, dijelaskan sebagai berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Untuk memahami kandungan makna dari Q.s. al-Baqarah ayat 195, terlebih dahulu dapat melihat pada asbab al-Nuzul dari ayat tersebut. Berkaitan dengan asbab al-Nuzul ayat diatas, Imam al-Bukhari dalam kitab shahih-nya meriwayatkan dari jalur Ibnu Hudzaifah yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan hukum nafkah”.
Selain itu, al-Imam al-Thabari juga mengemukakan beberapa riwayat hadis yang terkait dengan ayat tersebut. Sebagaimana riwayat dari Abu al-Saib Salim bin Junadah dan al-Hasan bin ‘Arafah, dari Abu Mu’awiyah, dari al-A’masy, dari Sufyan, dari Hudaifah, bahwa makna “walatulqu biaydikum ila al-tahlukah” yakni meninggalkan nafaqah. Begitu pula riwayat lain dari jalur Ibnu Mutsanna, Muhammad ibn Ja’far, Syu’bah, Manshur, Abu Shalih, Abdullah bin Abbas, dia berkata “wala tulqu biaydikum ila al-tahlukah”, yakni “berinfak dijalan Allah”. Begitu pula, hadis dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan menafkahkan harta dijalan Allah. Sedangkan dalam riwayat dari al-Hasan, dinyatakan bahwa maksud dari ayat tersebut (Q.s. Al-Baqarah: 192) adalah perintah Allah SWT tentang menafkahkan harta dijalan-Nya, dan mengabarkan kepada mereka bahwa meninggalkan (enggan) berinfak di jalan Allah SWT, termasuk kategori menjerumuskan diri kedalam kebinasaan.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan asbab al-Nuzul dari suatu ayat dan bagaimana cara memahaminya, para ulama ‘ulum al-qur’an telah memberikan penjelasan adanya kaidah untuk memahami asbab al-Nuzul, yaitu kaidah al-Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab dan sebaliknya. Dengan pemahaman tentang asbab al-Nuzul sebagaimana diatas, maka dapat dipahami bahwa ayat tersebut berbicara dalam konteks sedekah (infak).
Selain dengan menggunakan asbab al-Nuzul sebagaimana telah dikemukakan, untuk memahami kandungan ayat tersebut, dapat dilihat dari beberapa kalimat dan kata kunci yang ada dalam ayat tersebut.
Kalimat-kalimat kunci yang dipahami dari ayat tersebut adalah; Pertama, kalimat “وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ”, kedua, kalimat “وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ” dan yang ketiga adalah kalimat “وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”. Dengan melihat tiga kalimat kunci tersebut, maka secara sederhana dapat dipahami bahwa Q.s. al-Baqarah ayat 195 mengandung tiga inti ajaran pokok, yaitu: 1) perintahkan untuk menafkahkan harta dijalan Allah; 2) perintah untuk tidak membinasakan diri sendiri; dan 3) perintah untuk berbuat baik. Kemudian, Allah Swt menutup kalimat pada ayat tersebut dengan menyatakan bahwa Allah Swt mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Berkaitan dengan perintah atau anjuran yang pertama, para ulama memberikan penjelasan yang beragam terkait dengan maksud dari “wa anfiqu fi sabilillah”. Imam al-Baghawi mengemukakan bahwa yang dimaksud fisabilillah dalam ayat itu adalah jihad dan setiap kebaikan adalah fisabilillah. (Tafsir al-Baghawi)
Sedangkan Imam al-Syaukani memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut mengandung perintah untuk berinfaq di jalan Allah, yakni Jihad. Lebih jauh, al-Syaukani mengemukakan tentang pengambilan kaidah asbab al-Nuzul atas ayat tersebut. Menurutnya, kaidah yang benar adalah “al-‘Ibrah bi’umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab”, sehingga ayat tersebut melarang menafkahkan harta terhdap perkara-perkara yang membawa pada kerusakan agama atau dunia. (Fathul Qadir)
Al-Imam al-Qurthubi menjelaskan pula, yang dimaksud سَبِيلِ اللَّهِ (jalan Allah) adalah jihad. Sedangkan وَأَحْسِنُوا (berbuat baik) maksudnya, (berbuat baiklah kalian) dalam menafkahkan (harta) untuk ketaatan, dan berbaik sangkalah kalian kepada Allah dalam penyalahan-Nya kepada kalian.
Tokoh tafsir Indonesia, yakni Buya Hamka menjelaskan maksud dari ayat itu adalah larangan membinasakan diri dengan sifat bakhil, takut mengeluarkan uang, malas berkurban. Karena dihubungkan dengan ayat sebelumnya yang terkait dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang jihad (berperang di jalan Allah), yang mana berperang dijalan Allah membutuhkan perlengkapan senjata dan perbekalan makanan.
Menurut Wahbah Zuhailiy dan Imam Jalalain, pun juga menjelaskan dengan penjelasan yang sama bahwa maksud dari “dan nafkahkanlah hartamu di jalan Allah” adalah menafkahkan harta pada hal-hal yang berhubungan dengan ketaatan kepada Allah SWT, seperti jihad lain sebagainya dan janganlah menjerumuskan dirimu kedalam kebinasaan, yakni dengan enggan (tidak mau) berinfak untuk jihad, karena dengan itu dapat menjadi sebab kebinasaan bagi kamu sekalian.
Pada intinya, ayat diatas mengindikasikan agar seseorang menafkahkan harta pada jalan yang bermanfaat serta membawa kemaslahatan pada diri sendiri dan orang lain. Begitulah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Razi bahwa yang dikatakan infaq adalah mentasarrufkan harta pada perkara yang maslahat. (tafsir al-Razi)
Dengan mengambil pendapat Imam al-Razi ini, meskipun para ulama tafsir mengambil maksud berinfaq dijalan Allah adalah menafkahkan harta untuk kepentingan jihad, namun dapat diambil pula makna lain bahwa kandungan ayat ini mencakup anjuran untuk menafkahkan harta pada perkara yang membawa maslahat.
Dengan begitu, maka apabila dikaitkan dengan konsep asuransi, maka pertanyaan yang harus terjawab adalah apakah asuransi itu termasuk perkara yang membawa maslahat ataukah membawa madharat ?. Itulah point penting yang harus terjawab berkaitan dengan konsep asuransi.
Apabila memperhatikan pada tujuan asuransi sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat diambil satu point pokok atas tujuan dalam asuransi, yaitu membangun kerjasama dan tolong-menolong. Dengan melihat tujuan tersebut, maka akan ditemukan sekian banyak dalil atau rujukan baik secara nash dan akal yang dapat menjadi dasar asuransi.
Secara akal, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan membutuhkan untuk bersinergi dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam rangka hubungan antar sesama manusia tersebut, maka konsep tolong-menolong merupakan hal yang sangat penting dan sangat dianjurkan.
Begitu pula dalam konsep agama, tolong-menolong juga menjadi hal yang penting dan sangat dianjurkan dengan adanya beberapa nash yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya sebagaimana yang tersurat dalam Q.s. al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَان
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Pada ayat diatas, sangat jelas bahwa Allah Swt memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan tidak melakukan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Jika dikaitkan antara kandungan makna dari surat al-Baqarah ayat 195 dengan Q.s. al-Maidah ayat 2, dapat diperoleh pelajaran bahwa kita harus menggunakan harta dalam hal kebaikan. Salah satu dari kebaikan itu adalah menolong orang lain dalam hal yang baik.
Dengan begitu, maka ayat diatas dapat dijadikan dalil asuransi karena didalam asuransi terkandung konsep kerjasama dan bantu-membantu antara peserta satu dengan yang lainnya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan.
Apabila dikaitkan dengan kandungan yang ada dalam Q.s. al-Tahrim ayat 6, maka asuransi juga mendapat legitimasi hukum dari ayat tersebut. Karena, didalam Q.s. al-Tahrim ayat 6 terkandung anjuran untuk memperhatikan diri dan keluarga agar terhindar dari keburukan-keburukan. Dengan kata lain, Q.s. al-Tahrim ayat 6 memberikan anjuran agar seseorang selalu mengupayakan kemaslahatan dan kebaikan bagi dirinya dan keluarganya.
Jika memperhatikan referensi tafsir klasik dalam menjelaskan Q.s. al-Tahrim ayat 6, tidak akan ditemukan nilai yang mengarah kepada dalil asuransi. Karena, menurut para ulama tafsir, ayat tersebut mengisyarakat agar seseorang selalu ber-amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Abu al-Farraj ibnu al-Jauzi dalam tafsirnya bahwa makna dari “qu anfusakum wa ahlikum nara” adalah perlindungan terhadap diri sendiri, yakni dengan selalu melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt, serta perlindungan keluarga, yakni dengan menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah mereka dari perbuatan yang munkar. (Tafsir Zadul Masir)
Dengan melihat apa yang dikemukakan oleh Ibnu al-Jauzi diatas, tidak ditemukan keterkaitan dengan asuransi karena ayat itu berkaitan dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta menasihati keluarga agar berbuat yang baik dan sesuai dengan aturan Allah.
Jika mengambil nilai umum dari ayat tersebut, maka akan diperoleh pelajaran bahwa ayat tersebut mengisyaratkan agar seseorang selalu mengupayakan sesuatu yang baik dan menghindarkan diri dari sesuatu hal yang buruk, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya.
Salah satu upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi diri sendiri dan keluarga adalah melakukan persiapan sejak dini agar diri sendiri dan keluarga memiliki jaminan kehidupan didepannya.
Salah satu upaya persiapan tersebut adalah dengan adanya asuransi, yang memberikan jaminan dalam hal pendanaan, pembiayaan kesehatan, dan lain sebagainya apabila dikemudian hari terjadi suatu keburukan yang menimpa seseorang yang mengikuti asuransi tersebut.
Upaya diatas, dapat pula dikaitkan dengan kandungan dari Q.s. al-Nisa’ ayat 8 yang berisi perintah agar seseorang meninggalkan keturunan-keturunan yang kuat dan tidak meninggalkan keturunan-keturunan yang lemah.
Begitu pula yang terkandung dalam Hadis Rasulullah Saw berikut ini
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ ذُرِّيَّتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
Artinya: “Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, lalu mereka mengemis meminta-minta kepada manusia.”
Hadis diatas, meskipun berbicara tentang pembagian warisan, namun secara lebih luas dapat dipahami sebagai anjuran dan peringatan agar orang tua tidak meninggalkan anaknya dalam keadaan miskin sehingga anak-anaknya itu hidup dalam kesengsaraan dan kehinaan. Disinilah dapat dikatakan bahwa hadis inipun secara tersirat dapat menjadi rujukan dan dalil tentang hal-hal yang membawa maslahat bagi keturunan dihari depan, salah satunya adalah asuransi.
Begitulah anjuran untuk mempersiapkan diri atas segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi didepannya. Menurut Mohammad Muslehuddin, persiapan hari depan itu dapat dilakukan dalam bentuk seperti menabung dan asuransi. Menabung adalah upaya mengumpulkan dana untuk kepentingan mendesak. Sedangkan asuransi adalah untuk berjaga-jaga jika suatu saat musibah datang. Atau mempersiapkan diri jikalau tulang punggung keluarga sudah tidak dapat mencari nafkah di usia yang sudah tidak produktif lagi, atau mungkin meninggal dunia. Dari sini maka diperlukan perencenaan dan kecermatan dalam menghadapi hari esok.
Dengan berbagai penjelasan yang telah dikemukakan, maka menjadi semakin jelas bahwa asuransi memiliki dasar umum dalam al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan dalam Q.s. al-Baqarah ayat 195, Q.s. al-Tahrim ayat 6, dan beberapa ayat lain yang berhubungan dengan konsep tolong-menolong, memanfaatkan harta dengan benar, serta penjagaan diri dan keluarga atas hal-hal yang tidak diinginkan.
HUKUM ASURANSI
Setelah diperoleh pemahaman yang terang bahwa asuransi memiliki dalil umum dalam al-Qur’an sebagaimana dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan hal yang halal dan boleh dilakukan.
Terlebih lagi, tidak ada dalil khusus yang melarang adanya asuransi. Karena itulah, maka berlaku kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa “hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali ditunjukkan dalil yang mengharamkannya”.
Dengan kaidah diatas, maka dipahami bahwa segala sesuatu diperbolehkan sepanjang tidak dalil yang secara jelas dan tegas melarang hal tersebut.
Selain itu, sebagai suatu akad, maka berlaku pula kaidah kaidah lain yang berhubungan dengan akad, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang ber-aqad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.”
Dengan dua kaidah diatas, maka semakin dapat dipahami akan kebolehan asuransi, karena aqad dalam asuransi juga didasarkan pada suka sama suka (sama-sama ridha). Sehingga, dengan berdasar pada kaidah diatas, sepanjang aqad tersebut tidak berdasar adanya pemaksaan dari masing-masing pihak, maka aqad tersebut adalah sah.
Dengan penjelasan lain, hukum asuransi merupakan masalah ijtihadiyah yang akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisinya, serta apa-apa yang ada didalam asuransi tersebut. Apabila dalam asuransi tidak terdapat penipuan, riba dan hal hal yang dilarang agama, maka asuransi diperbolehkan. Namun, jika dalam asuransi terdapat unsur riba, penipuan, penindasan dan hal-hal lain yang dilarang syariat, maka asuransi tersebut dilarang.
Pendapat ini didasarkan bahwa jika dalam aqad tersebut terdapat unsur riba, maka terdapat ayat al-Qur’an yang secara tegas melarangnya. Jika dalam asuransi terdapat unsur penindasan dan penipuan, maka Islam melarang tindakan tersebut dengan dasar tegas dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Namun, jika tidak terdapat hal hal yang terlarang oleh syariat, maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu mubah.
Kaidah ushul fiqh yang lain yang berlaku dalam hal asuransi adalah, “setiap perkara tergantung pada niat/ maksud dan tujuannya”. Kaidah tersebut mengindikasikan bahwa amalan yang tidak dilarang, maka akan bergantung pula pada niat orang yang melakukan. Apa tindakan baik tersebut dilakukan dengan niat yang buruk, maka tindakan tersebut tentu juga dilarang. Misalnya, seseorang berniat membelikan orang lain baju, namun dia berniat dengan dia membelikan baju itu, dia dapat melakukan penghinaan kepada orang yang dibelikan dengan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Meskipun tindakan itu baik, namun akan berakibat tidak baik karena diniati dengan perkara yang tidak baik.
Sama halnya dengan asuransi yang pada hakikatnya terkandung unsur tolong-menolong, yang itu merupakan suatu kebaikan. Jika tindakan tolong-menolong tersebut, diniati dengan perkara yang tidak baik, misalkan niat ingin menindas, menipu orang lain, maka tindakan tersebut pun juga dilarang atau haram untuk dilakukan.
PENUTUP
Dari pemaparan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Asuransi merupakan pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Hal ini menjadi penting karena telah disinggung dalam al Qur’anpun agar kita melakukan kegiatan tolong menolong, dan melindungi keluarga, yang didasari oleh keikhlasan. Kedua, Didalam asuransi terdapat kegiatan tolong menolong dan melindungi keluarga. Karena dalam asuransi tujuannya bukan hanya mencari keuntungan, namun juga bertujuan untuk kepentingan bersama dan tolong-menolong antar sesama.
Ketiga, Asuransi memiliki dalil yang bersifat tersirat dan umum dalam al-Qur’an seperti Q.s. al-Baqarah: 195, Q.s. al-Tahrim: 6, Q.s. al-Maidah: 2, dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan anjuran tolong-menolong pada sesama.
Keempat, Selain ayat al-Qur’an, asuransi juga didukung oleh dalil-dalil hadis yang secara tersirat memberikan spirit untuk memperhatikan anak keturunan, serta hadis-hadis lain yang berbicara tentang tolong menolong dan infaq serta shadaqah.
Kelima, Asuransi diperbolehkan dengan syarat: dilakukan dengan niat yang baik, tidak ada unsur penipuan, dan penindasan. Selain itu, asuransi hendaknya dilakukan dengan unsur suka sama suka tanpa adanya unsur paksaan khususnya dari pihak perusahaan yang memaksa orang lain untuk menggunakan jasanya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an dan Terjemahnya, cetakan 10 (Bandung: Diponegoro, 2012).
Abdul Aziz, Ekonomi Islam: Analisis Mikro dan Makro, cetakan 1 (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008)
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, al-Jami’al-Shahih, Juz. III, cetakan 1 (Mesir: Maktabah as-Salafiyah, 1400 H).
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 2, cetakan 1, terj. Fathurrahman, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, Juz. II (Bairut: Daar al-Fikr, 1995).
al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab an-Nuzul al-Qur’an, cetakan 1 (Bairut: Daar Kutub al-Ilmiyyah, 1991).
A. Dzajuli, Kaidah Kaidah Fikih: Kaidah kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah Masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2011).
A. Hasan, Al Furqan (Bangil: Pustaka Tamaam, 1406 H).
Buchari Alma, Ajaran Islam dalam Bisnis, cetakan 3 (Bandung: CV. Alfabeta, 1998)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. II (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2002).
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, cetakan 1 (Yogyakarta: Teras, 2009).
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, cetakan 10 (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997)
Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam, terj. Wardana, cetakan 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: Gema Insani, 2004).
Muhlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, cetakan 1(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
M. Atho Mudzhar, dkk., Fatwa Majelis Ulama Indonesia: dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan, cetakan 2 (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2011).
M. Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam, cetakan 1 (Jakarta: Angkasa bersama UIN Syarif Hidayatullah, 2003).
Natasha Gena Patriani, Analisis Penggunaan Dana Investasi Asuransi Jiwa Syariah dan Konvensional Serta Perlakuannya Terhadap Hasil Investasi yang di Peroleh: Studi Kasus PT Asuransi Jiwa XYZ), skripsi (Depok: Universitas Indonesia, 2012).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cetakan 4 (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an (di Bawah Naunangan al-Qur’an), jilid I, cetakan 3, terj. As’ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2004).
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur, edisi 2, cetakan 2 (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2000).
Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fiy al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz. I, cetakan 10 (Damaskus: Daar al-Fikr, 2009).
Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005).
Yusuf Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi, dkk (Surakarta: Era Intermedia, 2003)
Post a Comment