AKHLAK KEPADA KEDUA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
AKHLAK KEPADA KEDUA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN DAN HADIS
OLEH: EKO RAHMANTO, S.Ud
PENDAHULUAN
Sebagai
dasar hukum Islam, al-Qur’an dan hadis bukan hanya memberikan aturan tentang
hubungan vertikal (hablun minallah),
namun juga memberikan arahan dan tuntunan bagi manusia berkaitan dengan
hubungan horisontal (hablun minannas). Salah satu hubungan horisontal yang
sangat ditekankan dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw adalah hubungan atau
interaksi terhadap kedua orang tua. Dalam banyak ayat al-Qur’an, telah dibahas
etika-etika berhubungan atau berinteraksi dengan kedua orangtua, baik orang tua
seiman ataupun tidak seiman, baik orang tua masih hidup ataupun sudah
meninggal.
Dalam
konteks kewajiban anak kepada orang tuanya, al-Qur’an menggunakan kata ihsânâ
sebanyak enam kali dan kata husn sekali. Penggunaan kata “ihsânâ” dapat
dilihat pada Q.s. Al-Baqarah: 83, Q.s. al-Nisa: 36, Q.s. al-An`am: 151,
al-Isra’: 23 dan al-Ahqâf: 15. Sedangkan penggunaan kata husn dapat
dilihat pada Q.s. al-Ankabut ayat 8. Berikut ini beberapa ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang birrul walidain.
Dalam
Q.s. Al-Baqarah: 83,
وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ
تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (٨٣)
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil,
"Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua
orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan
bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah
zakat." Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian
kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang”.
Dalam Q.s. Al-Nisa’:
36,
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (٣٦(
Artinya:
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat,
ibnu sabīl dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang sombong dan membanggakan diri”,
Dalam Q.s. Al-An’am:
151,
قُلْ
تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١(
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), "Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan
kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu
bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang
keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh
orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.
Dalam Q.s. Al-Isra’:
23 dan 24,
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ
لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤(
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik”. (23) “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh
kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil." (24)
Dalam Q.s.
al-Ankabut ayat 8
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٨(
Artinya:
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang
tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi
keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan.”
Jika
dilihat dalam ayat-ayat diatas, konsep berbakti kepada kedua orangnya digunakan
kalimat “wabil walidaini ihsana” dan “biwalidahi husnan”. Kalimat
tersebut, bukanlah kalimat yang tanpa makna, namun kalimat yang memberikan makna
arahan secara mendalam tentang bagaimana etika dan aturan sikap atau akhlak
seorang anak kepada orang tuanya. Untuk memahami konsep tersebut, maka kajian
secara kebahasaan sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya menggali dan
memahami konsep ajaran Islam tentang berbakti kepada orang tua.
Terdapat
tiga kata kunci yang penting dari sisi kebahasaan yang dapat digunakan untuk
memahami kalimat diatas. Yaitu penggunaan kata penghubung “bi” dalam
kalimat diatas, kata “al-birr”, kata “al-walid” dan kata “Ihsan”.
Pertanyaan
yang dapat menjadi latar belakang pengkajian terhadap penggunaan huruf “bi”
pada kalimat diatas adalah mengapa digunakan huruf tersebut dalam kalimat itu
dan tidak menggunakan huruf yang lain, misalkan dengan huruf “li”
sehingga kalimatnya menjadi “walil walidaini ihsana” atau menggunakan
huruf “ ila” sehingga kalimatnya menjadi “ wa ilal walidaini ihsana”.
Apa rahasia atau kandungan makna penggunakan kata “bi” dalam kalimat
diatas ?. Inilah yang perlu dijadikan sebagai bahan kajian dan pembahasan agar
diperoleh pemahaman yang tepat tentang berbakti kepada kedua orang tua.
Pertanyaan
lain dalam kalimat diatas adalah pemilihan kata “al-walid” bukan dengan
kata “abbi” atau “ummi”. Padahal, kata “abbi” atau “ummi”
juga menunjuk pada makna orang tua, yaitu “abbi” bermakna “ayah” dan “ummi”
bermakna “ibu”. Dua kata tersebut, yakni abbi dan ummi dalam
konteks tertentu juga digunakan dalam al-Qur’an dan hadis, baik dalam bentuk mufrad
(tunggal) ataupun dalam bentuk jamak (lebih dari dua). Misalnya
digunakan Q.s. al-Nisa’ ayat 22, Q.s. al-An’am: 74, Yusuf ayat 4, dan lain
sebagainya. Ayat-ayat tersebut menggunakan kata “Abbi” untuk menyebut
ayah. Selain itu, penggunaan kata “ummi” untuk menunjukkan makna ibu,
juga banyak digunakan dalam al-Qur’an baik dalam bentuk tunggal dan jamak,
seperti dalam Q.s. al-Nisa’ ayat 23, Q.s. al-Maidah ayat 17, 75, 116, Q.s.
al-Nahl: 78, dan lain sebagainya. Ayata-ayat tersebut menggunakan kata “ummi”
baik dalam bentuk tunggal maupun jamak untuk menunjukkan arti ibu. Dari sinilah
kemudian muncul pertanyaan, mengapa dalam ayat-ayat yang berbicara tentang
berbakti kepada kedua orang tua justru menggunakan kata “al-walidaini”
bukan dengan menunjukkan dengan kata “abbi” dan “ummi” ?. Dari
sini pula kajian kebahasaan penting dan sangat berperan untuk mengungungkap
kandungan maknanya.
Selain
pertanyaan berkenaan dengan pemilihan kata yang digunakan sebagaimana diatas,
penggunaan kata “birr” dan penggunaan kata “ihsan” pun juga
penting untuk dikaji dan dibahas sehingga dapat dipahami dengan lebih mendalam
berkaitan dengan makna berbakti kepada orang tua beserta batasan dan
ketentuannya, termasuk batasan mengenai “siapa orang tua yang dimaksud oleh
ayat tersebut ?”, apakah hanya terbatas pada orang tua kandung atau menunjuk pada
makna yang lebih luas dari itu ?. Karena itu, maka pemikiran mufassir, Muhaddits, dan kajian kebahasaan (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah) menjadi penting untuk
dilibatkan sebagai alat untuk memahami kandungan makna al-Qur’an.
BIRRUL WALIDAIN
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS (Studi Tafsir dan Hadis Tematik)
Sebagaimana
diatas telah dikemukakan bahwa terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara
tentang konsep birrul walidain.
Konsep tersebut, termuat bukan hanya dalam satu ayat, namun dalam beberapa ayat
al-Qur’an seperti Q.s. al-Baqarah, al-Isra’, al-Ankabut dan beberapa ayat
lainnya sebagaimana telah dikemukakan diatas.
Sebagai upaya untuk menggali
dan memahami konsep birrul walidain,
maka perlu dikaji dengan detail baik dari sisi kebahasaan (Nahwu, Sharf, dan Balaghahnya)
dan memperhatikan bagaimana para ulama tafsir (mufassir) menjelaskan tentang kandungan ayat tersebut. Pada bab
inilah hal-hal tersebut akan dikaji sehingga diharapkan dapat memberikan
pemahaman tentang konsep birrul walidain
dalam perspektif al-Qur’an dan hadis.
A. Kajian Kata-kata kunci dalam ayat.
1.
Makna
al-Birr
Al-Alusi dalam tafsirnya memaknai kata “al-birr”
dalam surat al-Baqarah ayat 177 dengan arti seluruh bagian-bagian dari
kebaikan, ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah Swt. (Ruuh al-Ma’ani
fiy Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’ul Matsani). Al-Birr menurut al-Biqa’i diartikan
dengan segala perbuatan yang diridhai (Nadhm
al-Durar).
Al-Zamahsyari memaknai “al-birr”
dengan nama dari kebaikan dan setiap pekerjaan yang diridhai (al-kasyaf).
Dari berbagai beberapa penjelasan
diatas, dipahami bahwa “al-birr” merupakan kumpulan tindakan yang
menjadikan pelakunya disenangi dan tindakan yang menjadikan orang lain senang
karena perbuatan itu. Dengan kata lain, “al-birr” adalah tindakan yang
bukan hanya menyenangkan pelakunya namun juga menyenangkan pihak lain.
2.
Makna
kata “al-walidain”.
Al-walid merupakan kata bentukan dari
kata “walada”. Dari kata “walada” terbentuk kata-kata lain yang
sangat banyak. Jika dilihat dari bentukannya, kata “al-walid” merupakan
isim fa’il dari kata “walada” tersebut.
Kata “walada” menurut Ibnu Faris,
menunjuk pada arti keturunan, atau generasi yang kemudian diqiyaskan pada
selainnya. (Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, juz. VI, h. 143)
Majduddin Muhammad
ibn Ya`qub al-Fairuz Zabadiy didalam kamusnya memberikan makna
kata “al-Abbu” dengan produktif, subur (al-Qamus al-Muhith, h.
29). Sehingga dapat
dipahami bahwa seorang laki-laki disebut “al-Abbu”
karena memang seorang laki-laki adalah orang yang selalu produktif. Dalam ilmu
biologi dijelaskan bahwa seorang laki-laki tidak mengenal monopouse. Berbeda halnya dengan seorang perempuan yang akan
kehilangan masa suburnya dalam usia kurang lebih 50 tahun.
Dengan
makna itu, maka kata “al-Abbu”
menunjuk pada bapak atau laki-laki secara umum dan bukan hanya menunjuk pada
ayah kandung. Al-Raghib
al-Asfahani menjelaskan makna kata “al-Abbu” yakni nama atas segala
sesuatu yang mengkreasi, memunculkan, atau menjadikannya baik (Mufradat al-Qur’an, h. 7).
Pakar Tafsir Indonesia, Prof. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa kata “al-wâlid” digunakan secara khusus untuk
menyebut bapak kandung, begitu pula “al-wâlidah“ digunakan untuk secara
khusus menyebut ibu kandung (Secercah cahaya al-Qur’an, h.
124). Sedangkan kata “abbi” dan “ummi”
tidak selalu bermakna orang tua kandung (Secercah
cahaya al-Qur’an, h. 125).
3.
Makna
kata “Ihsan”
Dalam konteks kewajiban anak kepada
orang tuanya, al-Qur’an menggunakan kata ihsânâ sebanyak enam kali dan
kata husn sekali. Penggunaan kata “ihsânâ”
dapat dilihat pada Q.s. Al-Baqarah: 83, Q.s. al-Nisa: 36, Q.s. al-An`am: 151,
al-Isra’: 23 dan al-Ahqâf: 15. Sedangkan penggunaan kata husn dapat
dilihat pada Q.s. al-Ankabut ayat 8.
Kata “husn” mencakup segala
sesuatu yang menggembirakan dan disenangi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
kata “ihsan” lebih tinggi dari adil, yakni memberikan sesuatu kepada
orang lain lebih dari yang telah diberikan kepadanya (Secercah Cahaya al-Qur’an, h. 125).
B. Konsep Birrul
walidain menurut al-Qur’an dan Hadis.
Untuk memahami konsep birrul walidain dalam perspektif
al-Qur’an dan hadis, maka kajian dapat dilakukan dengan memperhatikan kata-kata
kunci sebagaimana telah dijelaskan diatas, selain memperhatikan kedudukan
kalimat al-Qur’an dan pendapat-pendapat para mufassir dan muhaddits
dalam menjelaskan kandungan makna ayat dan hadis.
Dalam kajian bahasa Arab, huruf
penghubung “bi ” memiliki beberapa faidah, salah satunya adanya “lil
ilshaq” yakni menunjukkan hubungan yang erat dan dekat antara dua hal atau
lebih. Dengan begitu, maka penggunaan kata penghubung “bi” dalam konteks
berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat diatas,
memberikan makna bahwa Allah menghendaki adanya hubungan yang sangat dekat dan
sangat erat antara anak dengan orang tuanya. Karena itulah tidak digunakan kata
penghubung “ila (kepada)” yang dalam pemaknaannya digunakan sebagai
penunjukan andanya jarak antara dua hal atau lebih.
Dalam ayat tersebut juga tidak
disebutkan dengan menggunakan kata penghubung “li (untuk)” yang
mengandung makna kepemilikan. Jika digunakan kata penghubung “li”, maka
akan berimplikasi pada makna ketidak berdayaan anak, pengekangan dan tidak
adanya kebebasan sama sekali pada anak. Karena kebaktian dalam makna itu
berarti milik orang tua, sehingga anak harus berbakti kepada kedua orang tua
meskipun dalam hal yang dilarang oleh syariat, membawa madharat kepadanya, dan
lain sebagainya. Hal itu bukanlah menjadi keinginan dari syariat, karena
syariat menghendaki adanya kemaslahatan dan kebaikan dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itulah tidak digunakan kata
penghubung “li” dalam ayat-ayat diatas dalam konteks kebaktian anak pada
kedua orang tuanya. Artinya, anak tetap diberikan kebebasan dalam memilah dan
memilih sesuatu yang bermanfaat padanya. Misalnya, dalam hal pasangan hidup,
orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Anak tetap harus
dimintai pertimbangan tentang pasangan hidupnya demi kemaslahatan dan
kebahagiaanya. Sehingga, penolakan anak terhadap pilihan orang tua tentang pasangan
hidupnya, tidak dikategorikan sebagai kedurhakaan anak kepada orang tuanya. Dan
masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa anak diberikan wewenang untuk
menentukan pilihan hidupnya, meskipun orang tua diperbolehkan memberikan
gambaran atau opsi pilihan, namun dalam hal penentu kebijakan terakhir adalah
wewenang anak. Disinilah dapat dipahami mengapa dalam konteks birrul walidain digunakan kata
penghubung “bi” dan tidak digunakan kata penghubung “ila” atau “li”.
Selanjutnya, perlu ditekankan bahwa
kebaktian anak kepada kedua orang tuanya mutlak harus dilakukan. Al-Qur’an
dalam hal ini memberikan isyarat bahwa kewajiban birrul walidain
disandingkan setara dengan larangan menyekutukan Allah. Hal itu dapat dilihat
dengan digunakannya kata penghubung “wa (dan)” dalam ayat-ayat diatas.
Dalam ayat-ayat diatas, selalu digunakan
redaksi yang mirip yakni dengan menggunakan “la ta`budu illa iyahu wabil
walidaini ihsana”. Sehingga dipahami kalimat tersebut berasal dari dua
kalimat yang dihubungkan dengan kata penghubung. Kalimat pertama, yakni “la
ta`budu illa iyahu” dan kalimat yang kedua adalah “bil walidaini ihsana”.
Dua kalimat itu kemudian dihubungkan dengan menggunakan kata penghubung “wa
(dan)”. Kata penghubung itulah yang mengisyaratkan penyetaraan antara hukum
mentauhidkan Allah dengan hukum birrul walidaian yang kedua-duanya merupakan
hal yang mutlak wajib dan harus dilakukan.
Melihat kata kunci kalimat “birrul
walidain”, dipahami bahwa kata tersebut memiliki makna tindakan yang
dilakukan oleh seorang anak yang mana anak senang dengan perbuatan yang
dilakukannya dan orang tuapun ridha dengan apa yang dilakukan oleh anaknya
tersebut.
Para ulama tafsir, telah memberikan
penjelasan dalam memahami birrul walidain. Ibnu Katsir ketika
menafsirkan surat al-Isra’ ayat 23, menjelaskan tentang “wabil walidaini
ihsana”, yakni dengan seseorang diperintahkan untuk berbuat baik dan
bergaul dengan orang tua dengan cara yang baik. (Tafsir al-Qur’an
al-Adhim). Al-Baghawi menerangkan tentang “wabil walidaini ihsana”
adalah berbuat baik dan kasih sayang kepada keduanya. (Ma`alim al-Tanzil).
Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, berbuat baik kepada kedua orang tua dapat
dilakukan dengan cara berbelas kasih kepada mereka, memperhatikan
kepentingannya dengan sebaik-baiknya, patuh kepada perintahnya dalam hal-hal
yang tidak menyalahi perintah Allah (Tafsir al-Maraghi).
Setelah dijelaskan tentang bagaimana
al-Qur’an berbicara tentang birrul walidain, selanjutnya tidak kalah
pentingnya dilihat bagaimana hadis berbicara tentang birrul walidain.
Dalam hadis, terdapat banyak redaksi yang
berbicara tentang berbuat baik kepada kedua orang tua. Salah satunya dinyatakan
bahwa birrul walidain merupakan
amalan yang utama dengan penjelasan dari banyak hadis dalam kitab kitab hadis,
seperti dalam shahih Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan beberapa kitab hadis lain
dengan perbedaan redaksi. Dalam shahih
bukhari digunakan kata “al-shalatu ‘ala waqtiha”, dan “al-shalatu
‘ala miqatiha”. Dalam hadis yang berkaitan dengan amal yang paling dicintai
Allah, maka Rasul mensabdakan shalat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang
tua dan berjuang di jalan Allah. (HR. Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi).
Bahkan dalam riwayat bukhari yang lain, berbakti kepada kedua orang tua dinilai
jihad fi sabilillah (HR. Bukhari). Disinilah kemudian dipahami
bahwa birrul walidain merupakan kewajiban anak kepada kedua orang
tuanya. Bahkan, dalam riwayat al-Tirmidzi yang lainya dikemukakan bahwa ketika
ada anak yang akan berjihad, maka Nabi menyuruhnya untuk meminta ijin kepada
orang tuanya terlebih dahulu (HR. Tirmidzi).
Suruhan
atau perintah Nabi Saw dalam hal tersebut tentu sangat beralasan karena memang
kunci kesuksesan dan kemenangan seorang anak terletak pada restu dan ridha
kedua orang tuanya. Dalam konteks
sekarang, hal itu dapat diterapkan misalnya seorang anak yang ingin pergi untuk
mencari ilmu, ingin mencari pekerjaan maka haruslah dia meminta restu, izin dan
ridha dari kedua orang tuanya. Karena dengan begitu, usaha yang dilakukannya
akan mendapatkan kelancaran, rahmat dan keberkahan dari Allah Swt.
Bentuk
Berbuat baik kepada Kepada Orang Tua
Dalam
keterangan yang diberikan oleh Waryono Abdul Ghafur, terdapat beberapa bentuk
sikap ihsan kepada kedua orang tua, seperti berkomunikasi dengan baik, kedua,
rendah hati, sopan dan hormat kepada kedua orang tua, mendoakan keduanya (Menyingkap
Rahasia Al-Qur’an, h. 311).
Jika
memperhatikan, menelaah, mengkaji dan memahami lebih mendalam tentang konsep birrul walidain dalam al-Qur’an dan
hadis sebenarnya akan dapat ditemukan banyak penjelasan berkaitan dengan
bagaimana cara dan bentuk kebaktian seorang anak kepada kedua orang tuanya.
Berikut ini beberapa penjelasan al-Qur’an dan hadis berkenaan dengan
sikap-sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya.
1.
Berbicara
dengan perkataan yang baik
Bertutur kata yang baik kepada kedua
orang tua merupakan hal yang sangat ditekankan. Dalam al-Qur’an, digunakan kata
“karima” untuk menunjukkan cara bertutur kata kepada kedua orang tua.
Sebagaimana dalam Q.s. al-Isra’ ayat 23.
Kata “qaulan karima”, dalam
terjemahannya diartikan dengan “perkataan yang baik”. Pertanyaannya
kemudian adalah apa maksud kata “karima” dalam ayat tersebut. Apakah
hanya terbatas pada perkataan yang sopan ?. Atau terdapat batasan lain
berkaitan dengan maka kata “karima” dalam ayat tersebut dalam konteks birrul
walidain ?. Hal ini pula yang perlu dilakukan kajian. Mengapa dipilih kata
“karima”, kenapa bukan kata yang lain yang secara langsung menunjukkan
arti baik ?.
Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata “karima”
dapat dipahami dengan kata-kata yang mulia (al-Bahrul Muhith). Al-Alusi
memaknai qaulan karima dengan
perkataan yang baik yang tidak mengandung unsur kekejaman, kemarahan, dan
kebencian. (Ruuh al-Ma’ani fiy Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’ul
Matsani) Sedang al-Zamakhsyari mengemukakan bahwa makna “karima”
itu adalah berbicara dengan akhlak yang baik, dan mengutamakan muruah
(kesopanan) (al-Kasyaf).
Dari penjelasan yang dikemukakan,
dipahami bahwa qaulan karima adalah bertutur kata yang baik, sopan,
sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku pada daerah masing-masing. Karena,
kesopanan berkesesuaian dengan kultur masyarakat yang berbeda-beda antara
daerah satu dengan yang lainnya.
2.
Hormat
dan taat kepada orang tua
Hormat dan taat kepada orang tua
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang anak terhadap orang
tuanya dalam segala hal kecuali hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam Q.s. Luqman ayat 15, “Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai
ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.
Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.” Akan tetapi, jika orang tua mengajak untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat maka tidak boleh ditaati dan
dipatuhi. Itu saja, dalam menolak tetap memperhatikan etika kesopanan dan
akhlak yang baik.
Dalam bahasa al-Qur’an, hal itu itu
ditunjukkan dengan kalimat “washahibhuma fiddunya ma’rufa”. Kata “ma’ruf”
merupakan isim maf`ul dari kata `arafa. Kata `arafa
diartikan dengan mengetahui, mengenal atau menyadari.
Dari kata tersebut dikenal kata `urf
yang dipahami dengan arti tradisi atau kebiasaan. Dengan begitu, kata ma’ruf
dipahami dengan sesuatu yang diketahui, dipahami, dikenal. Sehingga, secara
tersirat ayat ini menjelaskan bahwa meskipun anak menolak perintah atau ajakan
orang tua terhadap suatu perkara yang bertentangan dengan syariat, namun dalam
penolakannya harus didasarkan pada etika, kesopanan dan dapat dipahami atau
dimengerti oleh orang tua tersebut sehingga keduanya tidak merasa sakit hati. Inilah
wujud hormat, patuh dan taatnya seorang anak kepada kedua orang tua. Pada
intinya, al-Qur’an menghendaki dan memerintahkan hubungan yang harmonis dan
baik antara anak dengan orang tuanya dalam kondisi apapun, bahkan jika orang
tuanya berbeda dengan anaknya pun hubungan yang harmonis tetap harus dijaga
sehingga akhlakul karimah mutlak dibutuhkan dalam hal ini.
3.
Mendoakan.
Mendoakan kedua orang tua harus
dilakukan setiap saat dan setiap waktu. Bahkan tidak hanya terbatas pada saat
orang tua masih hidup, namun meskipun orang tua telah meninggal pun harus tetap
didoakan.
Mendoakan kedua orang tua, menurut
Abdurrahman ibn Abdurrahim al-Mubarakfuri merupakan wujud syukur (terima kasih)
kepada kedua orang tua. Dalam menjelaskan hal ini, dia mengutip perkataan dari
Ibnu `Uyainah yang menjelaskan bahwa shalat lima waktu merupakan wujud syukur
kepada Allah dan mendoakan kedua orang tua merupakan wujud syukur (terima
kasih) kepada keduanya (Tuhfatul Ahwadzi, juz. V, h. 317).
Cara atau metode mendoakan kedua orang
tua yang telah meninggalpun bermacam-macam. Salah satunya adalah dengan membaca
al-Qur’an yang pahalanya diniatkan bagi kedua orang tuanya yang telah
meninggal.
Mengenai hal ini, banyak orang yang
tidak suka kemudian mengaburkan makna dan menganggap bahwa amalan itu tidak
sampai. Bahkan ada yang menganggap amalan itu merupakan bid’ah yang tercela.
Namun, kebanyakan dari mereka tidak memahami dan tidak mengerti akan bagaimana
pendapat dan penjelasan para ulama tentang hal tersebut.
Berkaitan dengan bacaan al-Qur’an yang
diniatkan pahalanya bagi kedua orang tua yang telah meninggal, ataupun saudara
sesama muslim yang telah meninggal terdapat dua pendapat. Pendapat pertama,
tidak sampai menurut sebagian ulama. Namun, menurut jumhur (mayoritas) ulama,
baik ulama tafsir, hadis ataupun fuqaha’ (ahli fikih) mengatakan bahwa amalan
tersebut pahalanya akan sampai kepada ahli kubur.
Sebagian orang berpendapat tidak
sampainya amalan tersebut dengan berdasar pada Q.s. al-Najm ayat 39 Mereka
hanya menafsirkan berdasarkan ra’yu (logika) mereka dan mengesampingkan
pendapat para ulama baik mufassir, muhaddits maupun fuqaha’.
Menurut penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis terhadap kitab-kitab tafsir klasik, baik tafsir bil ma’tsur
ataupun tafsir bil ra’yi[1]
disebutkan oleh para ulama tafsir akan sampainya pahala bacaan al-Qur’an yang
dihadiahkan kepada orang tua yang telah meninggal ataupun saudara sesama muslim
yang meninggal.[2] Al-Imam
Muhammad Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya juga mengemukakan beberapa
pendapat tentang hal itu yang pada intinya bahwa menurut sebagian ulama tidak
sampai namun menurut jumhur (mayoritas) ulama, bacaan al-Qur’an yang pahalanya
dihadiahkan bagi orang tua yang sudah meninggal atau sesama muslim yang sudah
meninggal adalah sampai (Syarh
al-Sudur fi Halli al-Maut wal Qubur). Begitulah bagaimana al-Qur’an dan hadis memerintahkan
kepada anak untuk selalu dan selalu berbakti, taat dan hormat kepada kedua
orang tuanya.
Larangan
Durhaka kepada Kedua Orang Tua.
Dalam
konsep al-Qur’an dan hadis, sikap buruk, menentang dan memiliki akhlak yang
buruk kepada orang tua adalah hal yang sangat dilarang. Marilah kita perhatikan
potongan Q.s. al-Isra’ ayat 23 berikut ini
إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”
Secara
tekstual, potongan ayat diatas memberikan keterangan bahwa apabila kedua orang
tua sudah lanjut usia dan dalam pemeliharaan si anak, maka anak tidak boleh
menyakiti hati orang tua dengan mengucapkan kata “ah”, jangan membentak
keduanya. Dan si anak diperintahkan untuk berkata dengan perkataan yang baik
dan sopan.
Secara
kontekstual, dapat dipahami bahwa orang tua yang sudah lanjut usia tingkat
sensitifnya terhadap perkataan lebih besar sehingga menjadi mudah tersinggung.
Oleh karena itulah, maka dalam ayat diatas dilarang seseorang mengucapkan
perkataan yang menyakiti orang tua meskipun itu hanya sesuatu yang sangat
sederhana.
Dalam
ayat, digunakan kalimat “wala taqullahuma uffin”. Menurut Abu Hayyan
al-Andalusi, kata “uffin” bermakna kebosanan, keletihan, atau kelelahan.
(al-Bahrul Muhith). Sehingga kalimat ”wala taqullahuma
uffin” bermakna perkataan yang menunjukkan makna kelelahan, kebosanan dan
kejemuan dalam merawat orang tua yang dalam tanggungannya.
Ayat
diatas secara tersirat dipahami bahwa mengucapkan kalimat sederhana saja sangat
mungkin menyakiti atau menyinggung hati orang tua apalagi jika sampai
membentaknya. Tentu akan lebih menyinggung perasaan orang tua. Maka diakhirnya
kemudian diperintahkan untuk mengatakan ucapan yang sopan, penuh kasih sayang,
hormat kepada kedua orang tua. Dengan kata lain, jika orang tua sudah lanjut
usia, seorang anak harus lebih berhati-hati dalam bersikap, berucap dan
bertindak, jangan sampai menyinggung perasaan kedua orang tua.
Demikianlah
al-Qur’an dan hadis menerangkan bahwa seorang anak harus selalu membangun
hubungan yang baik kepada kedua orang tua, baik orang tua kandung ataupun
mertua. Karena kunci kesuksesan dan kebahagiaan dunia dan akhirat terletak pada
hubungan yang baik yang akan berimbas pada ridha orang tua dan kemudian akan
membawa pada ridha Allah Swt. Sebagaimana sabda Nabi Saw, Ridhallah fi ridha
al-walidain (Ridhanya Allah tergantung pada keridhaan kedua orang tua).
PENUTUP
Dari pemaparan yang telah
dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, berbakti kepada kedua orang
tua merupakan kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan oleh seorang anak,
bagaimanapun dan apapun kondisinya orang tua apakah orang tua tersebut beriman
ataupun kafir maka tetap anak harus berbakti dan membangun hubungan yang baik
kepada kedua orang tua. Kedua, keberkahan
dan kesuksesan hidup anak sangat ditentukan oleh ridha, restu dan doa kedua
orang tuanya. Oleh karena itulah, maka dalam segala aktifitasnya anak harus
selalu dan selalu meminta doa dan restu kedua orang tuanya agar apa yang
dicita-citakannya terwujud.
Ketiga, apabila
kedua orang tua telah memasuki usia lanjut, maka anak harus merawat kedua orang
tuanya dengan baik. Bukan malah ditempatkan dip anti jompo dan lain sebagainya
karena hal itu akan sangat memukul dan menyakiti hati kedua orang tua. Dalam
memelihara orang tua, maka seorang anak harus sangat berhati-hati dalam
berucap, bertindak dan bersikap mengingat orang tua dalam usia lanjut sangat mudah
tersinggung. Oleh karena itu, anak harus sabar dan telaten dalam memelihara
kedua orang tuanya dengan penuh ridha dan kasih sayang. Keempat. Jika orang tua sudah meninggal, maka anak harus tetap
berbakti kepada kedua orang tuanya dengan cara selalu mendoakannya, memintakan
ampun kepada Allah atas dosa-dosanya, menunaikan nadzar dan wasiatnya, melunasi
hutang-hutangnya baik hutang kepada Allah seperti puasa, dan lain sebagainya
atau hutang kepada sesama manusia.
Kelima, mengirimkan
pahala bacaan al-Qur’an kepada orang tua yang sudah meninggal ataupun sesama
muslim merupakan amalan yang boleh dilakukan dan menurut jumhur ulama,
pahalanya akan sampai kepadanya. Meskipun terdapat sebagian pendapat yang
menyatakan ketidak sampaiannya. Namun, ulama telah berijma’ akan kesampaiannya
dan itu dipegangi oleh jumhur ulama madzhab, seperti madzhab Maliki, Hanafi,
Hanbali dan sebagian madzhab syafi’i. Wallahu
a’lam bish-shawab.
[1] Tafsir bil
Ma’tsur adalah tafsir yang dalam menafsirkan al-Qur’an, lebih cenderung
menggunakan riwayat (hadis) daripada menggunakan ijtihad. Sedangkan tafsir
bil Ra’yi adalah tafsir yang dalam menafsirkan al-Qur’an lebih banyak
menggunakan ijtihad daripada menggunakan riwayat, misalnya seperti kitab tafsir
karya Abu Hayyan al-Andalusi yaitu al-Bahrul Muhith, kitab tafsir karya
al-Zamakhsyari yang berjudul “al-Kasyaf”. Kedua tafsir tersebut
menggunakan ijtihad dengan metode pendekatan kebahasaan baik sisi nahwu, sharaf
dan balaghah al-Qur’an.
[2] Dalam hal ini,
penulis telah melakukan penelitian terhadap lebih dari 30 kitab tafsir baik
tafsir bil ma’tsur seperti kitab Tafsir al-Qur’an al-Adhim karya Imam
Ibnu Katsir, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya Abi Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi., Lubab at-Ta’wil Fiy Ma’ani at-Tanzil
karya Alauddin Abu Hasan Ali Abu Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Umar Ibn Khalil
al-Khazin, Ruuh al-Ma’ani fiy Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’ul
Matsani karya al-Alamah Abi Fadhl Syihabuddin as-Sayyid Mahmud Al-Alusi
Al-Baghdadiy, Zaadul Masir fiy ‘Ilmi al-Tafsir karya al-Imam Abi al-Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman
bin ‘Aliy bin Muhammad al-Jauziy, Ad-Durul Mantsur fiy at-Tafsir al-Ma’tsur
karya al-Imam Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakr As-Suyuti, As-Sirajul
Munir fiy al-I’anati ‘ala Ma’rifati Ba’dhi Ma’aniy Kalami Rabina al-Karim
al-Kabir karya al-Imam Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Khatib Asy-Syarbini
al-Mishri, dan kitab-kitab tafsir lain yang tidak dapat disebutkan disini. Hasil
penelitian tersebut, telah penulis kemukakan dalam makalah ilmiah dengan judul
“Mengirimkan Pahala Bagi Orang Yang Sudah Meninggal Dalam Pandangan Islam
(Studi Tafsir Surat An-Najm ayat: 39)”.
Post a Comment