Header Ads

ISRA’ DAN MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW


KAJIAN TAFSIR ISRA’ DAN MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW
Oleh: Eko Rahmanto, S.Ud

GAMBARAN UMUM TENTANG ISRA’ DAN MI’RAJ
Pembicaraan tentang Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Saw, tidak dapat dilepaskan dari kajian penafsiran surat al-Isra’ ayat 1
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ١
Artinya: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Terdapat beberapa kajian penting berkaitan dengan ayat diatas, mulai dari kajian secara bahasa sampai dengan kajian secara kontekstual terhadap makna ayat. Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya “al-Bahrul Muhith”mengemukakan bahwa ayat ini turun menjadi bantahan atas penolakan atau pengingkaran peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw.
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya memberikan penjelasan bahwa menurut pendapat yang shahih dari perkataan para shahabat dan ‘ulama’, Nabi Saw melakukan Isra’ Mi’raj dengan jasadnya, dari Masjidil Haram ke Bait al-Maqdis dengan mengendarai buraq kemudian mi’raj ke Sidratil Muntaha.
Al-Syaukani dalam tafsirnya, ketika menafsirkan surat al-Isra’ ayat pertama, menjelaskan pula bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu terjadinya Isra’ Mi’raj. Terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi satu tahun sebelum hijrah ke madinah. Ini juga dapat difahami bahwa ayat yang berbicara tentang Isra’ Mi’raj merupakan ayat Makkiyah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas. Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang paling benar bahwa Isra’ Mi’raj itu terjadi satu tahun lebih lima bulan sebelum Hijrah. Al-Tsa’labiy dalam tafsirnya mengemukakan perkataan Qatadah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi satu tahun sebelum hijrah.
Dalam rentetan sejarah perjalanan panjang Rasulullah SAW-menurut keyakinan umat islam-, isra’ mi’raj hanya dilakukan sekali saja. Yaitu pada masa sebelum hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah al-Munawarah. Kejadian itu memiliki rentetan peristiwa, yaitu meninggalnya Khadijah dan pamannya, yaitu Abu Thalib yang menjadikan beliau sangat berduka.
Menurut keterangan yang diberikan ulama’ dan tokoh sejarah islam, baik dalam buku yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Arab menyatakan bahwa isra’ mi’raj terjadi pada setelah tahun ke sepuluh kenabian. Karena, Isra’ Mi’raj terjadi setelah wafatnya khadijah dan paman Nabi Saw, yakni Abu Thalib.
Badri Yatim menuliskan, Abu Thalib meninggal setelah pemboikotan yang dilakukan oleh kaum kafir kepada Bani Hasyim pada tahun ke-7 kenabian, yang berlangsung selama tiga tahun. Tiga hari setelah Abu Thalib meninggal, Khadijah meninggal pula. Ira Lapidus, menuliskan bahwa Khadijah meninggal pada 619 M.
Ibn Atsir dalam al-Kamil fiy Tarikh disebutkan bahwa Abu Thalib dan Khadijah meninggal tiga tahun setelah mereka keluar dari masa pemboikotan. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman al-Dzahabiy mengemukakan riwayat az-Zuhriy dari jalur Musa bin ‘Uqbah, bahwa Rasulullah Saw melakukan Isra’ ke baitul Muqaddas, satu tahun  sebelum hijrah. Begitu pula dengan apa yang dikemukakan dalam as-Sirah an-Nabawiyah fiy Dhau’ al-Mashadir al-Ashliyyah, dengan mengambil riwayat dari Musa bin ‘Uqbah, dari az-Zuhriy dan ‘Urwah bin Zubair, bahwa Nabi Saw melakukan Isra’ dari Bait al-Haram ke  bait  al-Maqdis, satu tahun sebelum hijrah ke Madinah.
Dari keterangan yang diberikan oleh para tokoh sejarah diatas, dapat difahami bahwa para ulama’ sejarah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum hijrah, meskipun terjadi perbedaan pada waktu yang paling tepat, ada yang mengatakan 1 tahun, atau 2 tahun dan seterusnya sebelum hijrah.

MEMBANGUN HUBUNGAN VERTIKAL HORIZONTAL DENGAN SHALAT
Salah satu peristiwa yang terjadi dalam Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Saw, adalah turunnya perintah shalat yang menjadi satu kewajiban bagi umat Islam. Shalat, bukan hanya sebatas ibadah ritual yang sepi dari hikmah. Namun, shalat merupakan ibadah yang begitu agung dan sarat akan pesan dalam upaya manusia membangun hubungan vertikal (hablum minallah) dan hubungan horisontal (hablum minan nas). Disinilah penting untuk kita melakukan kajian terhadap shalat sebagai upaya untuk pembenahan diri menuju kearah yang lebih baik.
Jika dikaji ayat-ayat al-Qur’an tentang shalat, maka akan dapat ditemukan suatu rentetan penjelasan yang menjelaskan tentang hubungan vertikal dan horizontal yang baik, untuk menuju pada insan kamil. Bukan hanya sebatas kajian dan penjelasan teoritis, namun juga praktis dan juga kajian metafisik yang hanya dapat dipahami dengan bashirah yang suci.
Didalam al-Qur’an, terdapat penjelasan bahwa shalat merupakan ibadah yang diwajibkan dan ditetapkan waktunya. Kewajiban akan shalat, bertujuan agar seorang hamba selalu ingat kepada Allah Swt, memiliki kesadaran emosional dan transendental yang baik. Dari kesadaran tersebut, maka diharapkan keberhasilan atas shalat akan tercermin dari tindakan yang baik dan menjaga dari dari perbuatan yang mencelakan dan merugikan dirinya serta orang lain. Dengan begitu, maka shalat benar-benar akan menjadi penolong bagi dirinya. Dengan penjelasan tersebut, maka menjadi jelas bahwa agar seseorang mampu membangun hubungan horizontal secara baik, maka dibutuhkan hubungan vertikal yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, kebaikan hubungan vertikal akan terwujud dan ternilai, jika mampu dibuktikan dengan hubungan vertikal yang baik. Itulah, shalat yang sesungguhnya, shalat yang bukan hanya pada tataran fiqih teoritis, namun lebih kepada praktis dan metafisik untuk membangun kehidupan yang barakah. Wallahu ‘alam bish-shawab.

KESIMPULAN
Dari kajian diatas, dapat disimpulkan bahwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw merupakan suatu secara penting yang mana pada peristiwa tersebut, Allah Swt memberikan perintah shalat kepada Nabi Muhammad Saw dan juga harus dilaksanakan pula oleh umat Islam.
Shalat, bukan hanya sebatas ibadah ritual yang sepi dari hikmah, namun shalat terkandung pula hikmah sosial untuk pembenahan diri dan menguatkan kesadaran emosional dan transendental. Dua kesadaran tersebut, akan mengantarkan manusia kepada keberkahan dan kerahmatan hidup, sehingga manusia dapat menjadi insan kamil.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Hayyan al-Andalusi , Tafsir Al-Bahr al-Muhith, Juz. VI  (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 1993).

Al-Dzahabiy, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam, Juz. VIII (Bairut: Daar al-Kitab al-Arabiy, cet. II, 1990).

Al-Suyuti, Muhammad Jalaluddin, Ad-Dur al-Mantsur Fiy al-Tafsir bil Mantsur, juz. IX (Mesir: Markaz lil-Buhuts wa ad-Dirasat al-Arabiyyah al-Islamiyah, 2003).

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir al-Jami’ Bayna al-Fann ar-Riwayah wa Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir, juz. III (Bairut: Daar Fikr, 1995).

Al-Tsa’labiy, Al-Kasfu wa al-Bayan, juz. VI (Bairut: Daar Ihya’ at-Turats al-Arabiy, cet. I, 2002).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).

Ibnu Katsir, Al-Fushul fiy Shirat ar-Rasul Shallallahu alaihi wa sallam (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 1985).

Ibnu Atsir, Al-Kamil fiy at-Tarikh, Juz. I (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 1987).

Ibn ‘Asyur, Muhammad Thahir, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, juz. XV (Tunisia: ad-Daar at-Thunisia li an-Nasyr, 1984).

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999).

Mahdi Raz allah Ahmad, as-Sirah an-Nabawiyyah fiy Dhau’ al-Mashadir al-Ashliyyah: Dirasah at-Tahliliyyah (Bairut: Markaz al-Mulk al-Faishal li al-Buhuts wa ad-Dirasat al-Islamiyyah, cet. I, 1996).

Tidak ada komentar