ETIKA BERTETANGGA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
ETIKA BERTETANGGA DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
Pengertian Tetangga
Dari segi
bahasa, kata "tetangga", yang dalam bentuk tunggal bahasa Arab yaitu
(الجار) dan jamaknya (جيران),[1]
dan (جاور).[2]
Tetangga berarti orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan/jiran.[3]
Pengertian
yang sama dikemukakan WJS. Poerwadarminta, tetangga yaitu orang setangga,
sebelah menyebelah.[4]
Dengan singkat Sutan Muhammad Zain menyatakan bahwa tetangga yaitu jamak
daripada tangga.[5]
Sedangkan dari segi istilah, Al-Asfihani sebagaimana dikutip Waryono Abdul
Ghafur memaknai tetangga dengan “orang yang rumahnya dekat dengan kita atau
penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita, sejak dari rumah pertama hingga
rumah keempat puluh.”[6]
Tetapi,
dalam konteks Indonesia, kiranya tetangga tidak dibatasi pada jumlah empat
puluh rumah, karena apa yang dipraktekkan dengan adanya RT atau RW, sudah
menunjukkan semangat al-Qur'an dalam bertetangga. Maka yang dinamakan tetangga
bisa meliputi satu komplek perumahan atau bahkan lebih. Pada susunan
masyarakat; tidak bisa terlepas dari adanya suatu persekutuan yang ada diantara
tiga komponen, yaitu rumah tangga, tetangga dan masyarakat. Rumah tangga
biasanya dipimpin seorang ayah, tetangga dipimpin oleh seorang ketua RT dan
masyarakat dipimpin oleh seorang ketua RK, selanjutnya Lurah/Camat, Bupati,
Presiden.
Tetangga
itu bervariasi, dengan berbagai macam sifat dan perilakunya, kadang juga kita
mendapatkan yang baik. Tetangga yang baik ialah yang suka menolong dan memperhatikan
keadaan kita. Tetangga yang jelek ialah yang suka menyakiti, iri hati, sombong
dan memamerkan kekayaannya. Namun tetangga apapun namanya jika terjadi sesuatu
musibah, maka biasanya yang akan datang membantu paling awal.[7]
Tetangga dalam tinjauan
al-Qur’an dan hadis
Dalam ayat al-Qur’an tidak banyak ditemukan kata
tetangga, hanya ditemukan dua kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam Q.s. al-Nisa’
ayat 36 dan Q.s. al-Ahzab ayat 60. Dalam dua surat tersebut, kata tetangga
menggunakan kata “al-jaru”. Kata tersebut, justru
banyak ditemukan penggunaannya dalam hadis ketika berbicara tentang konteks
akhlak atau perbuatan baik kepada tetangga.
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (٣٦(
Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua
orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat
dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabīl dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”,
Dalam surat al-Ahzab ayat 60, dijelaskan
لَئِنْ
لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا
يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا (٦٠(
Artinya: “Sungguh, jika orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan
kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami
perintahkan engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak lagi menjadi
tetanggamu (di Madinah) kecuali sebentar,”
Meskipun sama-sama berbicara tentang tetangga, namun
yang secara khusus berbicara tentang konsep ihsan pada tetangga hanyalah
satu ayat, yaitu surat al-Nisa ayat 36. Dalam ayat itu, seseorang diperintahkan
untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga baik yang dekat ataupun jauh, teman sejawat, ibnu
sabîl dan hamba sahaya yang dimiliki. Semua perbuatan baik kepada pihak-pihak
tersebut, disamakan kedudukannya dengan larangan menyekutukan Allah Swt.
Dalam Tafsir Jalalain, yang dimaksud dengan
tetangga dekat adalah yang dekat dalam bertetangga atau dalam pertalian darah.
Sedangkan tetangga jauh adalah teman sejawat, teman seperjalanan atau satu
profesi bahkan ada pula yang mengatakan istri.[8]
Penyebutan tetangga dekat dan tetangga jauh di sisni, supaya keduanya sama-sama
dihormati menurut taraf pelayakannya. Ziarah-menziarahi dalam suasana
kegembiraan, lawat-melawat seketika ada yang sakit, jenguk-menjenguk seketika
ada kematian. Apabila seorang muslim mukmin bertetangga dengan orang yang
berlain agama, si muslim wajib lebih dahulu memperlihatkan ketentuan agama ini
di dalam hidupnya. Bukan satu siasat mengambil muka, tetapi didorong oleh
perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib. Rasulullah
Saw bertetangga dengan orang Yahudi di madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi
dalam suasana bertetangga, Rasulullah menunjukkan kemuliaan budi beliau.[9]
Ibn Kasir
menjelaskan; bahwa Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari ibnu Abbas, yang dimaksud
dengan (الجار
ذي القربى) ialah tetangga yang antara kamu dan
dia ada hubungan kerabat, sedangkan (الجار الجنب) ialah
tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat. Hal yang sama
diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, ad-Dahhak, Zaid ibnu
Aslam, Muqati ibnu Hayyan dan Qatadah (الجار ذي القربى) (dan berbuat
baiklah kepada tetangga yang dekat/ an-Nisa: 36) yakni tetangga yang muslim.
Sedangkan (الجار
الجنب) (dan berbuat baiklah kepada tetangga
yang jauh/an-Nisa:36) yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Jabir
al-Ju'fi meriwayatkan dari asy-Sya'bi
dari Ali dan Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: (الجار ذي القربى) (dan berbuat
baiklah kepada) tetangga yang dekat (an-Nisa: 36), yakni istri. Mujahid
mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: (الجار الجنب) (dan berbuat
baiklah kepada tetangga yang jauh/an-Nisa:36) yaitu teman seperjalanan.[10]
Maka, berdasarkan
hak yang diperoleh tetangga terbagi menjadi tiga tingkatan: Pertama, Tetangga
yang memiliki satu hak, ia adalah seorang tetangga yang musyrik yang memiliki
hak tetangga. Kedua, Tetangga yang memiliki dua hak, ia adalah seorang tetangga
yang muslim. Ia memilki hak tetangga dan hak Islam. Ketiga, Tetangga yang
memiliki tiga hak, ia adalah seorang tetangga yang muslim dan memiliki hubungan
kerabat. Ia memiliki tiga hak, hak tetangga, hak Islam dan hak kerabat.
Tetangga
adalah satu macam dari kaum kerabat, karena dekatnya tempat. Kadang-kadang,
orang lebih cinta kepada tetangga dekatnya daripada kepada saudaranya
seketurunan. Oleh karena itu, hendaknya dua keluarga bertetangga sailing
tolong-menolong; membina kasih sayang dan kebaikan antar mereka.
Jika
suatu keluarga tidak berbuat baik kepada tetangganya, maka bisa dikatakan tidak
ada kebaikan yang diberikan keluarga itu kepada seluruh manusia. Islam telah
menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga, meski ia bukan
Muslim. Nabi Saw. pernah menjenguk anak tetangganya yang sedang sakit, padahal
ia seorang Yahudi.
Suatu
ketika, Ibnu Umar menyembelih kambing, lalu berkata kepada budaknya,
"Sudahkah kamu memberi hadiah kepada tetangga kita yang beragama Yahudi?
Sudahkah?" Hasan Basri membatasi tetangga dengan empat puluh rumah dari
keempat arah. Yang lebih utama adalah tidak membatasi tetangga dengan rumah,
kemudian membuat pengertian bahwa tetangga adalah orang yang dekat dengan anda.
Wajah anda selalu berpapasan dengan wajahnya di waktu pergi pada pagi hari, dan
pulang ke rumah pada sore hari. Penghormatan terhadap tetangga sudah menjadi
tabiat bangsa Arab sebelum Islam, kemudian Islam menguatkannya dengan ajaran
yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antara tanda-tanda
penghormatan itu adalah mengirim hadiah kepadanya, mengundangnya untuk makan
bersama, berziarah, menjenguknya apabila sakit dan lain sebagainya.[11]
Pada suatu hadis justru menjelaskan, karena tingginya kedudukan tetangga,
seolah-olah ia berhak mendapat warisan.
حدّثني
عبيد الله بن عمر القواريرى حدّثنا يزيد بن زريع عن عمر بن محمد بنُ عن
ابيه قال: سمعتُ ابنَ عمر يقول: قال رسول الله ص.م: مَازَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِي بِالجَارِ حَتَّي ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِيثُهُ (رواه مسلم)
Artinya: Telah
bercerita kepadaku Ubaidillah bin Umar Al-Qawariry, bercerita kepada kami Yazid
bin Zurai’ dari Umar bin Muhammad dari bapaknya ia berkata: aku mendengar Ibn
Umar berkata: Rasulullah S.A.W bersabda: “Sesungguhnya Jibril terus menerus
berpesan kepadaku tentang tetangga hingga akan menduga bahwasanya ia akan
memberikan hak waris kepada tetangga”. (HR Muslim)[12]
Hadis ini mengisyaratkan bahwa seseorang tetangga
mendapatkan warisan dari tetangganya. Kemudian terjadi perbedaan pendapat
tentang warisan ini. Dikatakan, mendapatkan warisan yang telah ditetapkan
seperti kerabat si mayit. Sebagian mengatakan, ia ditempatkan pada posisi
mereka yang mewarisi berdasarkan kebaikan dan hubungan kekeluargaan.[13]
Tetapi realitanya belum pernah ditemukan bahwa seorang tetangga mendapatkan
atau bahkan memberikan kepada tetangganya warisan.
Ibnu Abu Jamrah berkata, “Warisan terdiri dari dua
bagian, indrawi dan maknawi. Adapun yang dimaksud di tempat ini adalah warisan
yang bersifat indrawi. Sedangkan warisan yang maknawi adalah ilmu. Namun, ada
juga kemungkinan termasuk juga warisan maknawi, karena termasuk kewajiban
tetangga terhadap tetangganya adalah mengajarkan ilmu kepadanya.”[14]
Wujud berwasiat tentang tetangga adalah dengan
memberikan berbagai kebaikan kepadanya sesuai kemampuan, seperti hadiah, salam,
berwajah ceria saat bertemu, memperhatikan keadaannya, menolongnya dalam
hal-hal yang dibutuhkannya dan sebagainya. Begitu pula menolak berbagai jenis
gangguan terhadapnya baik secara indrawi maupun maknawi.
Hal yang perlu diperhatikan dari hadis ini adalah
begitu Allah sangat menjunjung hak seorang tetangga. Sampai-sampai malaikat
Jibril terus-menerus berwasiat tentang tetangga. Perkara ini tidaklah
mengherankan karena tetangga adalah saudara seseorang yang paling dekat.
Seseorang yang akan selalu bersedia mengulurkan tangan ketika tetangganya
sedang dilanda musibah, seseorang yang akan ikut merasa senang ketika
tetangganya mendapatkan kesenangan. Namun di sisi lainpasti ada pula tetangga
yang selalu merasa iri dan acuh tak acuh terhadap keadaan tetangganya. Kejadian
ini tak mungkin tanpa sebab. Karena apa yang seseorang dapat tergantung dari
apa yang ia berikan kepada tetangganya.
Kepedulian terhadap Tetangga dalam perspektif Hadis
Dalam perspektif hadis, banyak dikemukakan bahwa
berbuat baik kepada tetangga merupakan bagian dari ciri kesempurnaan iman
seseorang dan kesempurnaan keislaman seseorang. Artinya, seseorang yang belum
mampu berbuat baik kepada tetangganya, maka keimanan dan keislamannya belum
dikatakan sebagai iman dan islam yang sempurna. Karena itulah, kajian tentang
bagaimana seseorang harus bersikap kepada tentangga merupakan kajian yang
sangat penting sebagai upaya Islam untuk membangun kemaslahatan sosial
kemasyarakatan. Salah satu hadis yang berbicara tentang kepedulian terhadap
tetangga adalah hadis dibawah ini,
حدّثنا
ابوبكر بن ابي شيبة حدثنا ابن إدريس اخبرنا شعبة ح و حدثنا ابوكريب حدثنا ادريس
اخبرنا شعبة عن ابي عمران الجوني عن عبد الله بن الصامت عن
أبى ذرّ قال إنّ خليلي صلى الله عليه وسلم اوصانى إذا طبختَ مرقًا فأكثر ماَئَهُ
ثم انظر أهل بيتٍ منْ جيرانِكَ فأَصبهم منها بمعورفٍ (رواه مسلم)
Artinya: “Dikatakan dari Abu Bakar Ibn Abi Syaibah,
dikatakan dari Ibn Idris diberitahukan Syu’bah (ح) dan dikatakan Abu
Kuraib, dikatakan Ibn Idris diberitahukan Syu’bah dari Abi ‘Imran Al-Jauni dari
Abdillah Ibn Shamit dari Abi Dzar berkata; Kekasihku Rasulullah S.A.W pernah
berpesan kepadaku: Apabila kamu memasak sayur maka perbanyaklah airnya. Lalu
lihatlah jumlah keluarga tetanggamu dan berikanlah sebagiannya kepada meraka
dengan baik.[15]
Rasulullah S.A.W banyak berwasiat kepada sahabat dan
kaumnya tentang sosialisasi terhadap tetangga, yang mana untuk dapat
menjalankan silaturrahmi dengan baik dan dapat menjaga perasaan terhadap
sesama. Dalam hadis ini adalah suatu kalam Rasul yang berkenaan dengan Wasiat,
yang harus dikerjakan pada kehidupan ini.
Hadis yang berbunyi إذا
طبخت مرقا فأكثر ماءه yang artinya “apabila kamu memasak sayur maka perbanyaklah
airnya” yang pada maksudnya adalah agar apabila kita sedang memasak
sesuatu, agar melebihkan bahan yang dimasak, dan yang tercantum dalam hadis ini
adalah sayur, akan tetapi ini adalah sebuah istilah agar apabila memasak kita
melebihkan sesuatu untuk tetangga yang terdekat dengan rumah yang ditinggali
oleh sebuah keluarga.
Dan inti dalam bahasan ini adalah dalam kalimat فأصبهم
منها بمعروف
yang artinya ” berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan baik” yang
pada intinya adalah agar berbuat baik, dan ramah terhadap tetangga, karena
dalam kehidupan apabila menolong, memberi kebaikan terhadap tetangga, niscaya
mereka akan dapat membantu apabila seseorang dalam kesusahan
Perilaku yang baik terhadap tetangga adalah awal
yang baik untuk membuat suatu masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Seperti
yang dicita-citakan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurut beliau cita-cita dan
kemungkinan untuk dilaksanakan merupakan kesatuan, sebab menurut beliau sia-sia
mengemukakan tujuan kepada umat kalau pada hakikatnya, dengan segala
keterbatasan, tidak dapat menjelmakan dalam kehidupan nyata. Dan seperti itulah
wasiat Rasul terhadap ummatnya agar tercipta kehidupan yang harmonis dan
islami.
Dalam hadis lain;
من كان يؤمن بالله واليوم
الاخر فلا يؤذ جاره, ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر, فليكرم ضيفه, ومن كان يؤمن
بالله واليوم الاخر فليقل خيرا او ليصمت
Artinya: “Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, maka hendaklah dia tidak menyakiti
tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, maka
hendaklah dia menghormati tamunya.” Serta barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari Kiamat, berkatalah yang baik atau diam” (Muttafakun ‘Alaih)
Ternyata dalam Islam, memperhatikan hak tetangga
mendapat perhatian yang istimewa. Perhatian semacam itu dipandang sebagai tanda
beriman. Nabi saw. Bersabda: “Barang siapa tidur, sementara tetangganya dalam
keadaan lapar, berarti dia belum beriman kepadaku. Allah tidak menyukai
masyarakat suatu negeri bila ada anggota masyarakat yang pergi tidur dalam
keadaan perut lapar.”
Ancaman Mengganggu Tetangga
Berhubungan
dengan peringatan agar seseorang tidak mengganggu dan berbuat buruk pada tetangganya,
terdapat banyak pula hadis-hadis Nabi SAW yang menjelaskannya. Salah satunya
adalah sebagai berikut,
حدّثنا
عاصم بن علي حدّثنا ابن ابي ذئب عن سعيد عن ابى شريح انّ رسول الله ص.م قال:
واللهِ لاَ يُؤمِنُ, واللهِ لاَ يُؤمِنُ, واللهِ لاَ يُؤمِنُ. قيل: وَمَنْ
يَارَسُول الله ؟ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارهُ بوائقه. (رواه البخاري)
Artinya: “Telah
bercerita kepada kami ‘Ashim bin Ali, telah bercerita kepada kami Ibn Abi Dziib
dari Said dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi Bersabda: “Demi Allah tidak beriman,
Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman”. Ditanyakan kepada beliau.
“Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “yaitu orang yang
tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya”.(HR Bukhori) [16]
Hadis tersebut diawali dengan sumpah yang Rasulullah
ucapkan sebanyak tiga kali. An-Nawawi berkata, “Penafian iman dalam persoalan
seperti ini memiliki dua jawaban. Pertama, ia berkenaan dengan orang yang
menghalalkan perbuatan itu. Kedua, maknanya ia tidak beriman secara sempurna.”
Mungkin maksudnya juga ia tidak diberi balasan sebagaimana layaknya mukmin yang
sempurna, yaitu masuk surga sejak awal, atau mungkin kalimat ini dalam rangka
penekanan larangan dan bukan makna dhahir yang dimaksud.[17]
Setiap muslim hendaknya tidak menyakiti tetangganya,
serta tetangganya harus merasa aman daripadanya. Rasa aman dari tetangga itu
terdiri dari tiga hal, yaitu aman dari gangguan tangan, lisan dan aurat. Aman
dari gangguan tangan maksudnya adalah apabila seseorang pergi ke luar dari
rumahnya dan di dalam rumanhya terdapat banyak barang berharga. Orang tersebut
tidak merasa curiga terhadap tetangganya dan tetangganya tidak melakukan hal
yang nantinya membuat curiga dari orang tersebut. Aman dari gangguan lisan maksudnya adalah
seseorang selalu menjaga lisannya agar apa yang dia ucapkan tidak melukai hati
dan membuat malu tetangganya. Aman dari gangguan aurat maksudnya adalah apabila
seseorang bepergian lalu diberitahu bahwa tetangganya masuk ke rumahnya maka
hatinya merasa tenang dan gembira.[18]
Melalui penjelasan di atas setidaknya ada empat kaegori pokok dalam berhubungan
bertetangga, yakni: membantu tetangganya dengan apa yang ada padanya, tidak
menginginkan apa yang dipunyai tetangganya, tidak mengganggu tetangganya dan
sabar terhadap gangguan tetangganya.
Dalam
hadis di atas, Rasulullah sampai-sampai mengulang 3 kali sabdanya tentang orang
yang tidak beriman adalah orang yang mengganggu tetangganya. Hal ini
menjelaskan betapa pentingnya untuk memberikan rasa keamanan dan ketenteraman
terhadap tetangga, sehingga menempatkan akhlak terhadap tetangga merupakan
salah satu cerminan tentang iman seseorang. Diantara tanda seseorang memiliki
iman yaitu bagusnya mu’amalah, utamanya dengan tetangga. Maka, barang siapa
yang ternyata, tetangga-tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya, maka
merupakan tanda bahwa orang tersebut imannya lemah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa,
dari cara bergaul dengan tetangga dapat diukur bagaimana tingkat keimanan
seseorang.
Dalam
hadis lain;.
إِنَّ
اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ وَيُؤْتَـمَنَ
الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ الأَرْحَامِ
وَسُوْءُ الجِوَارِ...» رواه أحمد والحاكم في المستدرك.
Artinya: “Sesungguhnya
Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, tidak akan terjadi hari kiamat sebelum orang yang amanah
dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat dipercaya, sebelum muncul (sifat)
keji dan kekejian, pemutusan hubungan silaturahim (kerabat), dan sikap buruk
dalam bertetangga…". (HR. Ahmad dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak)
Sedikit
banyak dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, antara penduduk desa
dan kota saat ini. Penduduk kota yang masing-masing sibuk dengan urusan
pekerjaan dan rumah tangga masing-masing tanpa peduli dengan tetangga sendiri.
Sementara itu, di masyarakat desa yang masih melestarikan warisan dari
leluhurnya, tetap menjaga toleransi, saling menghormati antar tetangga,
semuanya tidak lain untuk menciptakan kerukunan bermasyarakat.
Sabar dari Gangguan
Tetangga
Kehidupan bermasyarakat, tidak selamanya tetangga
selalu bersikap baik. Terkadang, ada pula tetangga yang bersikap kurang baik
pada tetangganya yang lain, selalu menngganggu dan lain sebagainya sehingga
tetangga yang lain merasa terganggu dan kurang nyaman dalam kehidupan
bermasyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw memberikan pesan,
ثَلَاثَةٌ يُحِبُّهُمُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ رَجُلٌ غَزَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَقِيَ الْعَدُوَّ مُجَاهِدًا
مُحْتَسِبًا فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ وَرَجُلٌ لَهُ جَارٌ يُؤْذِيهِ فَيَصْبِرُ
عَلَى أَذَاهُ وَيَحْتَسِبُهُ حَتَّى يَكْفِيَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ بِمَوْتٍ
وَرَجُلٌ يَكُونُ مَعَ قَوْمٍ فَيَسِيرُونَ حَتَّى يَشُقَّ عَلَيْهِمُ الْكَرَى
أَوِ النُّعَاسُ فَيَنْزِلُونَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ فَيَقُومُ إِلَى وُضُوئِهِ
وَصَلَاتِهِ
Artinya: “Tiga orang yang Allah cintai, seorang yang berjumpa
musuhnya dalam keadaan berjihad dan mengharap pahala Allah, lalu berperang
sampai terbunuh dan seseorang memiliki tetangga yang mengganggunya lalu ia
sabar atas gangguan tersebut dan mengharap pahala Allah sampai Allah
cukupkan dia dengan meninggal dunia serta seseorang bersama satu kaum lalu
berjalan sampai rasa capai atau kantuk menyusahkan mereka, kemudian mereka
berhenti diakhir malam, lalu dia bangkit berwudhu dan sholat”
Jelaslah
bahwa berbuat baik dengan tetangga tidaklah cukup dengan tidak mengganggunya,
namun dengan bersikap sabar dengan tetangga atas gangguanya. Sederhana, sarat
makna. Hal ini acap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Jika semua
manusia mengetahui dan mengaplikasikan substansi dan esensi hadits ini,
tercapailah puncak dari kenyamanan kehidupan dengan sejatinya keharmonisan.
Untuk menyelamatkan diri dari sifat jahat atau
kejahatan tetangga, kita perlu sejauh mungkin menggunakan cara-cara yang arif
dan damai. Jika ternyata cara-cara ini tidak membuahkan hasil, Barulah dapat
digunakan cara-cara yang lebih keras, karena sifat jahat atau kejahatan ahrus
dihentikan. Namun perlu pula diperhatikan, kejahatan tidak dihadapi dengan
kejahatan pula. Imam al-Baqir berkata: “Seseorang datang kepada Nabi. Dia
mengadu bahwa tetangganya sering mengganggunya. Nabi menasihatinya untuk
bersabar. Orang itu datang lagi kepada nabi, dan mengadu lagi. Nabi kembali
memintanya untuk bersabar. Orang itu datang lagi yang ke-3 kalinya, dan keluhnya
juga sama. Nabi saw. Bersabda: “Pada hari jumat, ketika orang pada pergi salat
jumat, keluakan perabot rumahmu ke jalan, lalu katakan kepada orang-orang
bahwa kamu hendak mengungsi karena
seseorang tetanggamu selalu membuat masalah.” Orang
tersebut mengikuti nasihat nabi. Banyak orang yang akhirnya tahu betapa
berdukanya ia. Berita itupun sampai ke telinnga tetangga yang suka bikin
masalah itu, sehingga pandangan orang jadi negatif terhadap tetangga yang suka
membuat masalah, tetangga itu meminta orang itu untuk mengembalikan kembali
perabotnya ke rumah dan menjamin tidak akan lagi mengganggu atau
menyusahkannya.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam beberapa
rumusan pelajaran pokok mengenai etika bertetangga dalam perspektf al-Qur’an dan
Hadis Nabi Saw, diantaranya adalah:
Pertama, Tetangga adalah orang yang dekat, baik
dekat dalam ranah keagamaan dan kekerabatan. Masing-masing mendapatkan
kedudukan dan kepedulian hak yang sama dalam taraf dan porsi yang berbeda.
Berbuat baik kepada tetangga adalah bentuk dari kesempurnaan iman.
Kedua, Tetangga mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam Islam, ia berhuubungan erat dengan konsep tauhid, birrul walidain,
penghormatan terhadap keluarga dan kerabat serta rasa kasih sayang terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Ketiga, Mengganggu, membahayakan dan menyakiti
terhadap tetangga mendapat ancaman berupa rapuhnya keimanan, menyebabkan
pertikaian dan konflik, sehingga kiamat (hari akhir) bertambah semakin dekat.
Keempat, Seseorang harus mampu menahan diri,
bersabar dan memafkan atas gangguan dari tetangganya, maka perlakukanlah
tetangga dengan cara yang arif dan bijaksan. Bersikap lemah-lembut, tenggang
rasa, tolong-meonolong demi terciptanya kerukunan, kesejahteraan dan perdamaian
dalam kehidupan bermasyarakat.
Saran
Menghormati dan berbuat baik terhadap tetangga,
tiada lain adalah karena sikap persaudaraan, kuatnya tali persaudaraan akan
menjadi benteng yang memperkokoh umat Islam dalam bernegara dan berbangsa.
Menampikan nilai-nilai luhur dan ahlak Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin; mengasihi seluruh semesta.
Demikan tulisan ini dibuat, semoga bisa menjadi
panduan, wasiat dan nasihat terhadap diri kita semua dalam membentuk ukhuwah,
antar agama, suku, ras dan bangsa serta antar sesama manusia dan mahluk Allah
swt. Segala kekurangan yang ada dalam tulisan ini, diharapkan kritik dan saran
yang membangun yang kemudian hari akan diperbaiki dan disempurnakan. Tiada lain
harpan yang dipanjatkan, kecuali memohhon hidayah dan inayah Allah
swt. Amiin, Walhamdulillahirobbil’alamiin..
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap
Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an.
Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia.
Sutan
Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia.
Waryono
Abdul Gahfur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks.
Mochtar
Husein, Etika Islam Meneladani
Perilaku Rasulullah Saw.
Imam
Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir Jalalain.
Buya
Hamka, Tafsir Al Azhar,
Al-Imam
al-Hafizh Imaduddin Abu al-Fida Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr
al-Qur’an al-Azîm.
Ahmad
Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, juz. V, (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1974)
Imam
Muslim, Shahih Muslim
Imam
Bukhori, Shahih Bukhori.
Ibnu
Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari.
[1]
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997),
hlm. 222.
[2]
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, (Jakarta:t.tp. 1973),
hlm. 94.
[3]
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hlm. 1187.
[4]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm. 1065.
[5]
Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, ,( Jakarta: Grafika,
tth), hlm. 990.
[6]
Waryono Abdul Gahfur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 159.
[7] Mochtar
Husein, Etika Islam Meneladani
Perilaku Rasulullah Saw, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 56-57.
[8] Imam
Jalal al-Din al-Mahalli dan Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
Juz 1, (kairo: Dâr al-Fikr, t.th), hlm. 332.
[9]
Selengkapnya, Hamka, Tafsir Al Azhar, juz, V, PT Pustaka Panji Mas, Jakarta,
1999, hlm. 65-66
[10] Al-Imam
al-Hafizh Imaduddin Abu al-Fida Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr
al-Qur’an al-Azîm,cet. 1, (Beirut: Dar ibn Hazm, 2000), hlm. 480.
[11]Ahmad
Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, juz. V, (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1974), hlm. 55-56.
[16]Imam
Bukhori, Shahih Bukhori, vol 7, (Libanon: Darul Kutub Ilmiyah, 1412 H),
hlm. 103.
[17]
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari, terj. Amiruddin, Jil. 29, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), hlm. 152.
[18] Al-Faqih
Nashr bin Muhammad bin Ibrahim As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin ,
Ter. Muslich Shabir, (Semarang: Toha
Putra, 1993), hlm. 225.
ì
Penulis adalah Mahasiswa IAIN Surakarta semester 8, Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah, jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Sebelum masuk ke IAIN Surakarta,
pernah nyantri di beberapa pondok pesantren salafiyyah di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Didalam kampus, dia banyak berkiprah dalam organisasi keislaman dan
keilmuan. Diantara organisai kampus yang pernah ditekuninya adalah UKM
Penelitian “DINAMIKA”. Hingga sekarang menjabat sebagai salah satu pengurus
Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Nasional (FKMTHI). Selain itu, dia juga
menjabat sebagai Ketua Ihya’ al-Qur’an IAIN Surakarta. Dalam hal keilmuan,
beberapa diskusi dan seminar pernah diikutinya, baik sebagai pembicara maupun
sebagai moderator. Berbagai kejuaraan dalam hal kajian keislaman pun juga
beberapa kali diraihnya, diantaranya: 1) juara 1 LKTI Tingkat Karesidenan
Surakarta. 2) Juara 1 LKTI Tafsir Nasional. Sosok yang dipanggil akrab dengan
Kang Imam ini, sekarang menjadi salah satu penggiat keilmuan di IAIN Surakarta
bersama dengan beberapa teman-temannya.
Post a Comment