Header Ads

ISLAM KONTEKSTUAL: MENDIALOGKAN AGAMA DENGAN MULTIKULTURALITAS DI INDONESIA

ISLAM KONTEKSTUAL: MENDIALOGKAN AGAMA DENGAN MULTIKULTURALITAS DI INDONESIA
Oleh: Eko Rahmanto, S.Ud

Islam dan Multikultural di Indonesia
Sebagaimana dikemukakan oleh Ainul Yaqin (2005: 4), Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia, karena kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas yang menyebabkan Indonesia menjadi negara  yang multi etnis, multi ras, multi budaya dan multi agama. Wilayahnya yang luas yang terdiri dari ribuan pulau, keragaman budaya, suku, ras dan agama adalah sebuah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Keragaman kebudayaan oleh masyarakat lazim disebut multikultural.
Keragaman yang terjadi di Indonesia, dapat dilihat dengan banyaknya pulau, suku, ras, dan bahkan agama yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh  Andik Wahyun Muqoyyidin (2012: 131) bahwa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau Sekitar 11 ribu pulau dihuni oleh penduduk dengan 359 suku dan 726 bahasa. Dia menambahkan bahwa berdasarkan pada PNPS no. 1 tahun 1969, Indonesia memiliki lima agama. Kemudian, pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, Konghucu menjadi agama keenam. Meski hanya enam, didalam masing-masing agama tersebut terdiri dari berbagai aliran dalam bentuk organisasi sosial. Begitu juga ratusan aliran kepercayaan hidup dan berkembang di Indonesia.
Keragaman itu telah menunjukkan Multikulturalitas di Indonesia. Kondisi yang demikian, terkadang menimbulkan suatu problem tersendiri, dimana kondisi multi kultur tersebut jika tidak disikapi dengan arif dan bijaksana, justru menjadikan daerah tersebut sangat rawan dengan konflik. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Said Agil Husain al-Munawar (2003: 213) bahwa Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di satu sisi bisa menjadi potensi yang berharga dalam membangun peradaban bangsa, di sisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik, multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa. Perbedaanperbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung bagaimana cara mengolahnya.
Persinggungan antar agama dan budaya, tentu menjadi sesuatu hal yang tidak dapat dielakkan ketika dalam suatu wilayah terdapat multi agama, budaya, ras, dan lain sebagainya. Persinggungan islam dengan multikultur bukan hanya terjadi pada masa modern sekarang ini. Hal itu telah terjadi pada masa-masa lalu dimana islam mencapai kejayaannya justru dengan kepiawaian islam dalam merespon persoalan multikultur.
Sebagai contoh nyata, peradaban islam di Madinah yang merupakan kondisi multikultur yang berhasil direspon dengan baik oleh islam. Dalam peradaban itu, Rasulullah SAW sebagai panutan umat islam telah berhasil menata kondisi multi kultur itu menjadi suatu kesatuan utuh yang pada akhirnya akan membawa kemajuan islam kedepannya. Multikultur yang ada di Madinah masa itu, bukan hanya berbagai etnis dan suku yang tinggal disana, namun berbagai macam agama yang berkumpul menjadi satu dalam satu tatanan kenegaraan yang dikendalikan oleh Rasulullah SAW.
Kondisi tersebut, tentunya menginspirasi kita tentang bagaimana mengamalkan agama-khususnya islam- di Indonesia yang juga merupakan negara multikultur. Indonesia dengan berbagai suku, bahasa, dan agama tentunya harus disikapi dengan baik bagaimana harus bersikap sehingga menumbuhkan kesatuan dan persatuan menuju kedamaian hidup berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, perlu untuk menggagas ulang bagaimana konsep islam dalam merespon kondisi multikultural. Terlebih lagi, Rasulullah SAW sebagai tokoh sentral yang menjadi suri tauladan seluruh umat islam, telah memberikan pesan yang sangat menarik lewat hadisnya “ Wahai manusia, bukankah Tuhan kalian satu, nenek moyang kalian satu. Bukankan tidak ada keistimewaan antara orang-orang arab dengan ornag-orang asing (‘Ajm), dan antara orang asing dengan orang Arab, tidak pula untuk orang berkulit merah atas atas orang berkulit hitam, dan tidak tidak pula orang berkulit putih atas orang berkulit merah, kecuali takwa kepada Allah SWT”. (HR. Imam Ahmad bin Hanbal)
Hadis diatas tentu dapat difahami bahwa letak kesempurnaan dan letak kualitas seseorang menurut Tuhan adalah bagaimana dia taat dan patuh kepada Tuhan dengan melaksanakan seluruh apa yang menjadi perintah-Nya dan meninggalkan apa yang menjadi larangan-Nya. Kesempurnaan bukan terletak pada pangkat dn jabatan, bukan terletak pada ras dan suku, namun lebih kepada kesadaran seorang hamba atas Tuhan-Nya.

Kontekstualitas Al-Qur’an dan Hadis: Suatu Usaha Membentuk Pemahaman Islam Kaffah.
Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa Al-Qur’an dan hadis-bagi umat islam-merupakan undang-undang pokok dalam kehidupannya. Keyakinan inipun merupakan keyakinan yang telah turun-temurun mulai masa dulu sampai sekarang.
Berbeda dengan masa lalu dimana pada masa Rasulullah SAW-sebagai sosok yang paling faham dengan Al-Qur’an- telah memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada para shahabat dalam memahami isi dan kandungan Al-Qur’an. Pemahaman yang diberikan oleh Rasulullah SAW kemudian dijadikan rujukkan para shahabat, tabi’in yang kemudian pemahaman itu  sampai pula pada masa tabi’ at-tabi’in. Pemahaman yang menjadi warisan turun-temurun ini telah membawa islam ternyata bukan memberikan pada satu kesatuan pemahaman, namun pada faktanya pun pada masa lalu telah terdapat perbedaan-perbedaan interpretasi dalam memahami teks (al-Qur’an dan Hadis). Berbagai macam perbedaan pendapat yang teradi di kalangan Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ at-Tabi’in ternyata tidak menjadikan mereka berseteru dalam suatu konflik yang berkepanjangan.
Akan sangat jauh berbeda ketika dilihat pada era modern sekarang ini, dimana keragaman justru dijadikan sebagai ajang untuk saling berseteru dan berselisih intern umat beragama dan antar umat beragama. Karena itulah, sangat diperlukan kajian-kajian ulang terhadap Al-Qur’an dan Hadis guna mendapatkan pemahaman yang lebih maslahat untuk diterapkan dalam kehidupan. Asumsi ini tentu bukan merupakan asumsi yang ngawur, karena dalam konsep yang diajarkan oleh para ulama’ ushul fiqh bahwa syariat itu memiliki tujuan utama untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Perintah Allah SWT agar orang yang beriman masuk islam secara kaffah, ternyata telah difahami dengan berbagai macam perspektif yang kemudian justru memunculkan sikap yang salah dalam kubu umat islam sendiri. Sebuah kesalahan yang terjadi adalah ketika terjadi perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap suatu nash, yang terjadi kemudian adalah saling menyalahkan, menghujat bahkan sampai saling mengkafirkan satu sama lain. Padahal ketika melihat bagaimana pada ulama’ memberikan penjelasan tentang masuk islam secara kaffah, dapat ditemukan penjelasan yang sangat simpel namun sarat dengan makna. Muhammad Ali Ash-Shabuni (1981:133) menjelaskan masuk islam secara kaffah adalah menggambil seluruh syariat dan hukum islam, tidak mengambil suatu hukum dan meninggalkan hukum yang lain. Begitu pula Ibnu Katsir (2000:273) yang mengemukakan bahwa menurut sebagian mufassir, “kaffah” adalah dengan mengamalkan atau melaksanakan cabang-cabang iman, dan syariat-syariat islam. Cabang-cabang iman dan syariat-syariat islam itu sangat banyak, oleh karena itu hendaknya dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan.
Penjelasan yang dikemukakan oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Ibnu Katsir diatas, memberikan pemahaman bahwa masuk islam secara kaffah, diwujudkan dengan melaksanakan semua syariat, ajaran dan hukum islam  secara keseluruhan yang dilakukan dengan disesuaikan menurut kadar kemampuan. Dan hal ini tentunya sangat terkait dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni menciptakan kemaslahatan. Maka dapat difahami pula bahwa muslim yang kaffah adalah muslim yang mampu memberikan dan mewujudkan kemaslahatan didalam kehidupan di dunia ini. Tentunya hal itu akan terwujud ketika nash atau dalil agama dapat difahami dan didialogkan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa salah satu usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup adalah dengan melakukan penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis secara kontekstual, bukan dengan pemahaman tekstual. Salah satu sebab pokok yang mengharuskan kajian terhadap Al-Qur’an secara kontekstual, adalah bahwa pemahaman secara tekstual, pada kenyataannya justru menghilangkan ruh islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan justru tidak mampu menjawab tantangan pluralitas dan multikultur. Fakta tersebut dapat kita lihat bagaimana tokoh-tokoh yang memegang paham tekstualisme Al-Qur’an ternyata justru mempersempit pemahaman islam sehingga memunculkan sikap-sikap beragama yang terkesan kaku dan menjauhkan makna ruh islam yang sejati sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Pemahaman Al-Qur’an dan hadis secara kontekstual tentunya bukan dimaknai sebagai suatu kebebasan tanpa batas dalam memahami Al-Qur’an dan hadis, namun tentu harus tetap didasarkan pada bataan-batasan tertentu sehingga dapat terealisasi pemahaman yang tepat tentang bagaimana konsep ushul dalam islam dan konsep furu’ dalam islam. Konsep ushul (pokok) dalam islam seperti konsep keyakinan tentang Ke-Esa-an Allah SWT (konsep Tauhid), konsep iman, dan konsep-konsep lain yang berkaitan dengan Aqidah dan Ubudiyyah, tentunya tidak dapat dikontekstualisasikan. Sedangkan ajaran islam yang berhubungan dengan muamalah dan hubungan sesama manusia, tentu hal ini dapat bahkan harus difahami secara kontekstual agar dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Untuk dapat memahami al-Qur’an secara kontekstual, dibutuhkan pengetahuan tentang asbab an-Nuzul, Asbab al-Wurud, shirah, dan ilmu-ilmu pendukung lainnya termasuk ilmu sosiologi, geografi dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal itu, ternyata para ulama’ yang konsen di bidang tafsir al-Qur’an telah memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ketat terkait dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Manna’ al-Qaththan (tt: 321-323) misalnya, memberikan penjelasan tentang syarat-syarat mufassir adalah harus lurus dan benar akidahnya, tidak menuruti hawa nafsunya, melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan sunnah (hadis), al-Qur’an dengan perkataan shahabat, dengan perkataan dari para ulama’ dari kalangan tabi’in, serta seorang mufassir harus menguasai bahasa arab dan cabang-cabang dari bahasa arab tersebut, serta harus menguasa ilmu-ilmu pokok yang berhubungan dengan al-Qur’an. Syarat-syarat yang diberikan oleh para ulama’ ini tentunya bertujuan nash-nash agama (Al-Qur’an dan hadis) dapat difahami secara tepat sehingga mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan.


PENUTUP
Sebagai penutup atas gagasan ini, perlu adanya penegasan bahwa Al-Qur’an yang merupakan kalamullah dan hadis yang merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW, tentunya muncul bukan pada ruang hampa. Al-Qur’an dan hadis tentu muncul dalam sebuah peradaban dan kondisi tertentu.
Al-Qur’an yang merupakan kitab yang shalih fiy kulli zaman wa makan, ternyata dalam kandungannya mencakup makna-makna yang umum sehingga membuka jalan untuk dilakukan kajian-kajian untuk memahamai agar dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi sehingga benar-benar islam dapat menjadi payung bagi seluruh alam semesta dengan kesempurnaan ajarannya, keluasan dan kemudahan cakupan dan ajarannya, serta kemaslahatan yang ditimbulkannya bagi orang yang mau berpedoman padanya bahkan membawa kemaslahatan pula pada orang-orang yang tidak menjadikannya sebagai pedoman hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, cet. I, 2005).

Andik Wahyun Muqoyyidin. Membangun kesadaran inklusif multikultural untuk deradikalisasi pendidikan Islam, (dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434).

Ahmad Mustafa Hadna. Problematika Menafsirkan Al-Qur’an. (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993).

Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al-Adhim. (Muasasah al-Qurthubah, cet. I, 2000)

Manna’ al-Qaththan. Mabahits fiy Ulum al-Qur’an. (Mesir: Maktabah Wahbah, tt)

Muhammad Ali Ash-Shabuni. Shafwah at-Tafasir. Juz. I (Bairut: Dar al-Qur’an al-Karim, cet. IV, 1981)

Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).

Tidak ada komentar