TAFSIR KONTEKSTUAL SURAT AT-TAKATSUR
TAFSIR KONTEKSTUAL SURAT AL-TAKATSUR
Oleh: Eko Rahmanto
بسم الله الرحمن الرحيم
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (٢) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٣) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٤) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (٥) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (٦) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (٧) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (٨)
Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (8)”
Gambaran Umum Surat al-Takatsur.
Surat al-Takatsur adalah surat yang diturunkan oleh Allah di Makkah sehingga disebut sebagai surat Makkiyah. Surat al-Takatsur diturunkan setelah surat al-Kautsar dan terdiri dari 8 ayat.
Menurut Quraish Shihab, antara al-Takatsur dengan surat al-Kautsar memiliki hubungan keserasian yang jelas, antara lain dari akar katanya yang sama-sama bermuara pada kata al-katsrah yang berarti banyak (Secercah Cahaya al-Qur’an, h. 242). Namun, jika dipahami dua surat itu memiliki substansi yang berbeda. Surat al-Kautsar memiliki substansi pujian, sedangkan surat al-Takatsur secara substansi bermakna kecaman atau peringatan.
Kontekstualisasi Kandungan Surat al-Takatsur
Secara sederhana, sebenarnya ayat itu bukan merupakan larangan orang memiliki kekayaan, bangunan yang bagus dan megah. Namun, ayat tersebut merupakan peringatan sekaligus larangan menyombongkan diri dengan kekayaan yang dinikmatinya. Karena memang ayat itu bukan berisi perintah ataupun larangan, namun berisi berita atau informasi agar seseorang berhati-hati dengan kekayaan dan kemegahan hidup.
Dalam tafsir jallalain, kata “al-takatsur” diartikan dengan menyombongkan diri dengan kekayaan, anak dan kekuatan atau keperkasaan. (Tafsir Jallalain). Ibnu `Asyur memahami makna “al-Takatsur” sebagai perilaku berlomba-lomba dalam memperbanyak sesuatu yang disenangi, baik itu harta atau anak kemudian berbangga diri dengan hal-hal tersebut. (al-Tahrir wa al-Tanwir).
Ayat pertama dan kedua, seakan-akan merupakan pertanyaan sindiran dari Allah kepada orang yang berlomba-lomba mengumpulkan harta sehingga lupa beribadah kepada Allah “apakah kamu akan selalu berlomba-lomba seperti ini sampai kamu mati ?”.
Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban berupa ucapan namun jawaban berupa tindakan, yaitu menghentikan tindakan berlomba-lomba dan menyombongkan diri karena dunia kemudian ingat kepada tujuan hidupnya, yaitu beribadah dan taat kepada Allah Swt.
Oleh karena itulah, pada ayat selanjutnya diingatkan oleh Allah, janganlah seperti itu karena akan berakibat buruk dan membawa kesengsaraan dalam hidup di dunia dan akhirat. Bahkan, dalam ayat selanjutnya ditegaskan dengan keterangan bahwa jika seseorang itu yakin dengan kehidupan akhirat, mestinya sikap dan tindakannya tidak seperti itu.
Peringatan tersebut kemudian dipertegas lagi bahwa kelak dia pasti akan mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatannya dan kelak dia akan mempertanggung jawabkan atas apa yang telah dilakukannya. Itulah gambaran secara umum kandungan surat tersebut.
Harta dan Anak adalah Ujian Dari Allah.
Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa manusia memiliki kecintaan yang besar kepada harta dan anak. Hal ini tergambar dalam Q.s. Ali Imran ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ ١٤
Artinya: “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
Dalam Q.s. ali Imran ayat 14 tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa wanita, anak-anak, harta benda merupakan kesenangan dan hiasan atau sesuatu yang menyenangkan jika dipandang manusia. Namun, dalam akhir ayat diatas ditegaskan bahwa semua kesenangan tersebut hanyalah kesenangan duniawi (yang bersifat fana’), sedangkan disisi Allah Swt terdapat kebahagiaan yang lebih indah dari kebahagiaan, kesenangan yang ada di dunia ini.
Penjelasan dari surat Ali Imran ini sangat relevan dengan surat al-Takatsur yang berisi sindiran kepada orang-orang yang terlalu berbangga diri dengan dunia. Isi dari surat al-takatsur ini sangat penting untuk dipahami dengan seksama, dan sangat relevan untuk diamalkan dalam kehidupan.
Sikap berlomba-lomba didalam mengumpulkan harta, sering menjadikan orang menghalalkan segala macam cara untuk memperolehnya, tanpa memperhatikan sisi kehalalannya, keberkahan dari harta yang diperolehnya sehingga dia hanya memperhatikan kuantitas dari harta tersebut tanpa memperhatikan kualitasnya.
Tindakan sebagaimana diatas, akan membawa dampak yang sangat besar keburukannya bukan hanya di akhirat namun juga di dunia. Sikap terlalu membangga-banggakan harta, akan menjadikan dia merendahkan orang lain yang secara kuantitas harta berada dibawahnya. Dari sikap itu kemudian akan muncul kecemburuan sosial yang akan berujung pada tindak kriminalitas.
Sikap terlalu bangga dengan harta juga akan menjadi sebab kekikiran dan kebakhilan, sehingga orang yang kaya tidak akan memiliki kepedulian lagi dengan kaum fakir dan miskin, anak yatim dan kaum-kaum tertindas. Hal itu akan memicu kejahatan sosial, seperti mencuri, merampok, dan lain sebagainya.
Tindakan terlalu membangga-banggakan anak juga akan berakibat buruk dalam kehidupan, yakni sikap yang menganggap anaknya yang paling baik, paling pandai, dan lain sebagainya sehingga akan merendahkan anak orang lain. Sikap itupun juga akan memicu permusuhan dalam masyarakat karena secara naluri orang tua tidak mau jika anaknya dihina oleh orang lain. Sikap tersebut akan membawa dampak putusnya silaturahim dan persatuan dalam masyarakat sehingga tatanan sosial kemasyarakatan pun akan menjadi tidak teratur.
Padahal jika semua dikembalikan kepada penjelasan-penjelasan al-Qur’an, baik harta ataupun anak merupakan ujian kehidupan yang harus disikapi dengan tepat. Banyak ayat al-Qur’an yangmengingatkan tentang hal tersebut. Misalnya, peringatan Allah Swt agar janganlah harta benda dan anak menjadikan kita lalai dari mengingat Allah Swt, sebagaimana yang tersurat dalam Q.s. al-Munafiqun: 9. “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi”.
Meskipun, memang dalam al-Qur’an terdapat pula penjelasan bahwa harta dan anak merupakan perhiasan hidup yang menyenangkan di dunia, namun penjelasan itu selalu saja diiringi dengan penjelasan bahwa amal shaleh, jauh lebih baik dari itu semua untuk kehidupan di akhirat. Sebagaimana yang disebutkan dalam Q.s. al-kahfi: 46.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاوَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا ٤٦
Q.s. al-kahfi: 46 dijelaskan pula, “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Jika diperhatikan ayat diatas, sangat jelas bagaimana Allah menjelaskan bahwa harta-harta dan anak-anak selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan dalam pandangan manusia. Dengan kata lain, manusia selalu memiliki kecenderungan untuk menyukai harta dan anak.
Pemahaman diatas, diperoleh dari struktur kalimat dalam ayat diatas yang menggunakan “jumlah ismiyyah” yang mengandung makna “al-Tsubut wal istimrar”, yakni menunjukkan sesuatu yang bersifat tetap dan berkelanjutan.
Kedudukan huruf wawu ‘athaf dalam kalimat “الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا” menunjukkan makna “al-ziyadah” sehingga memberikan makna bukan hanya harta yang menjadikan seseorang menjadi senang, bukan pula anak-anak saja yang menjadikan seseorang menjadi senang. Namun, keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, maka “zinatul hayat al-dunya” tidak sempurna.
Berbeda dengan huruf wawu yang berada pada kalimat “وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا”. Huruf wawu dalam kalimat tersebut,
Menurut al-Biqa’i, maksud dari “الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ” adalah “amal-amal kebaikan yang murni dilakukan hanya mengharap ridha Allah Swt”. (Tafsir al-Biqa’i).
Namun, harus diingat bahwa harta dan anak yang tidak diarahkan ke jalan Allah Swt, justru akan menjadi bencana bagi kedua oleh tuanya. Oleh karena itulah, maka dikatakan bahwa harta dan anak merupakan ujian dan amanah yang harus dikelola dan diarahkan, dididik, digunakan dengan baik sesuai dengan aturan Allah Swt. Dengan kata lain, bagaimanapun senang dan bahagianya kita terhadap harta, jangan sampai melalaikan kita dari Allah.
Seseorang akan mulia karena hartanya, namun seseorang jika akan sengsara karena hartanya. Begitu pula, seseorang akan terangkat derajatnya karena anaknya dan dapat pula mengalami kesengsaraan hidup karena anaknya pula. Semuanya tergantung dari bagaimana dia mengelola harta dan anak tersebut sehingga menjadi harta yang barakah dan anak yang shaleh yang akan menjadi jalan atau sarana kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Disinilah maka penting seseorang memiliki sikap zuhud, qanaah dan syukur.
Zuhud, Syukur dan Qanaah sebagai kunci Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Sikap zuhud adalah sikap ridha dengan apa yang yang telah ada dan tidak risau dengan apa yang tidak ada. Sikap qanaah memiliki makna yang hampir mirip dengan zuhud namun berbeda. Qana’ah adalah sikap merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Dalam penjelasan yang lain dikemukakan oleh Hadarah Rajab, Qana’ah adalah menemukan kecukupan didalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tidak ada, merasa cukup dengan apa yang diterima dan telah dimiliki. (Akhlak Sufi, h. 163)
Dengan penjelasan diatas, dipahami bahwa orang yang zuhud tentu dia merupakan orang yang qana’ah. Sikap zuhud dan qana’ah akan menjadikan seseorang selalu bersyukur atas segala sesuatu yang diberikan Allah kepadanya.
Sikap zuhud, qanaah, dan syukur merupakan hal-hal yang akan mendatangkan ketentraman dalam diri seseorang. Karena dengan sikap-sikap itu, seseorang tidak akan merasa apa yang terjadi pada dirinya sebagai sebuah beban berat. Namun, dia akan merasa bahwa apapun yang terjadi pada dirinya, dijalankannya sebagai suatu proses menuju ridha Allah Swt.
Menjadikan Dzurriyah dan Kekayaan sebagai Sarana Menuju Allah
Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk menjadi orang yang kaya, hidup mewah dalam kehidupan dunianya. Islam justru sangat mengecam sikap malas yang membawa akibat pada kesengsaraan dan kemiskinan dalam hidup.
Islam sangat menekankan pada kesungguhan dalam bekerja, berusaha untuk mendapatkan rizki yang halal dan barakah untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Bahkan, dalam hadis dinyatakan bahwa orang yang bekerja mencari nafkah disamakan dengan berjihad di jalan Allah.
Disisi lain, ajaran Islam juga mengingatkan agar seseorang tidak sembrono dalam mencari rizki dan memanfaatkan rizki yang telah diperolehnya. Diharapkan rizki tersebut diperoleh dari cara-cara yang sesuai dengan aturan syariat dan ditasharufkan pula sesuai dengan aturan syariat. Itulah rizki yang akan membawa keberkahan dalam kehidupan seseorang.
Harus dipahami bahwa harta dan kekayaan merupakan ujian bagi manusia. Dalam hal ini, Rasulullah Saw mengingatkan, “Dari Ka`ab bin `Iyadh, dia berkata: “Rasulullah Saw telah bersabda: “Setiap umat ada ujian (fitnah) dan ujian bagi umat ini (umat Muhammad Saw) adalah harta” (HR. Tirmidzi)
Begitu pula dengan anak dan keturunan. Islam tidak melarang seseorang memiliki banyak anak. Namun, yang menjadi perhatian Islam bukanlah kuantitas anak. Namun kualitas dari anak yang menjadi amanah orang tua tersebut. Hal itu terbukti bahwa yang akan menyelamatkan kehidupan orang tua bukanlah banyaknya anak, namun anak yang secara kualitas merupakan anak yang baik, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Oleh karena itulah, dalam Islam bukan hanya kuantitas dzuriyah yang diperhatikan namun lebih kepada bagaimana mendidik anak dan keturunan tersebut menjadi keturunan yang baik (shaleh atau shalihah). Apalah artinya memiliki anak yang banyak namun semuanya ahli maksiat. Tentu akan lebih baik memiliki anak yang secara kuantitas sedikit namun secara kualitas sangat membanggakan.
Salah satu dari kekurang tepatan sikap orang tua masa sekarang adalah pandangan mereka terhadap kualitas anak. Orang tua terkadang hanya memperhatikan kualitas secara akademik namun tidak atau kurang memperhatikan kualitas secara spiritual. Sehingga, pendidikan anak bukan ditekankan pada nilai-nilai moral, namun hanya sebatas pada nilai akademik. Hasilnya, anak menjadi orang yang pandai secara akademik namun kurang atau bahkan tidak memiliki kekuatan moral dan spiritual yang baik. Padahal, kekayaan (harta benda) dan keturunan (dzurriyah) yang akan menyelamatkan adalah kekayaan yang selalu diinfakkan di jalan Allah sehingga dapat bernilai jariyah dan anak yang menyelamatkan adalah anak yang shaleh yang selalu berbuat baik kepada orang tuanya baik masih hidup ataupun orang tua sudah tidak ada. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang menjelaskan terputusnya amal anak adam jika telah meninggal dunia kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa terdapat tiga hal, yaitu Ahlinya (keluarganya), hartanya dan amalnya. Harta dan amal akan kembali sedangkan yang kekal menemaninya adalah amalnya. (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik)
Dari penjabaran diatas, dapat dipahami bahwa harta yang akan menyelamatkan adalah harta yang diamalkan, diinfaqkan, dishadaqahkan di jalan-jalan yang diridhai Allah karena hal itulah yang akan menjadi jariyah.
Kesimpulan atas kandungan surat al-Takatsur itu adalah peringatan bagi orang yang hanya memperhatikan pada materi, menumpuk harta kekayaan, memperbanyak keturunan, namun dia lalai akan tanggung jawab dan amanahnya atas harta dan anak keturunan. Sehingga, didunia dan akhirat dia mengalami kerugian yang besar. Wallalu a’lam bish-shawab.
Oleh: Eko Rahmanto
بسم الله الرحمن الرحيم
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (١) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (٢) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٣) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (٤) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (٥) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (٦) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (٧) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (٨)
Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (8)”
Gambaran Umum Surat al-Takatsur.
Surat al-Takatsur adalah surat yang diturunkan oleh Allah di Makkah sehingga disebut sebagai surat Makkiyah. Surat al-Takatsur diturunkan setelah surat al-Kautsar dan terdiri dari 8 ayat.
Menurut Quraish Shihab, antara al-Takatsur dengan surat al-Kautsar memiliki hubungan keserasian yang jelas, antara lain dari akar katanya yang sama-sama bermuara pada kata al-katsrah yang berarti banyak (Secercah Cahaya al-Qur’an, h. 242). Namun, jika dipahami dua surat itu memiliki substansi yang berbeda. Surat al-Kautsar memiliki substansi pujian, sedangkan surat al-Takatsur secara substansi bermakna kecaman atau peringatan.
Kontekstualisasi Kandungan Surat al-Takatsur
Secara sederhana, sebenarnya ayat itu bukan merupakan larangan orang memiliki kekayaan, bangunan yang bagus dan megah. Namun, ayat tersebut merupakan peringatan sekaligus larangan menyombongkan diri dengan kekayaan yang dinikmatinya. Karena memang ayat itu bukan berisi perintah ataupun larangan, namun berisi berita atau informasi agar seseorang berhati-hati dengan kekayaan dan kemegahan hidup.
Dalam tafsir jallalain, kata “al-takatsur” diartikan dengan menyombongkan diri dengan kekayaan, anak dan kekuatan atau keperkasaan. (Tafsir Jallalain). Ibnu `Asyur memahami makna “al-Takatsur” sebagai perilaku berlomba-lomba dalam memperbanyak sesuatu yang disenangi, baik itu harta atau anak kemudian berbangga diri dengan hal-hal tersebut. (al-Tahrir wa al-Tanwir).
Ayat pertama dan kedua, seakan-akan merupakan pertanyaan sindiran dari Allah kepada orang yang berlomba-lomba mengumpulkan harta sehingga lupa beribadah kepada Allah “apakah kamu akan selalu berlomba-lomba seperti ini sampai kamu mati ?”.
Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban berupa ucapan namun jawaban berupa tindakan, yaitu menghentikan tindakan berlomba-lomba dan menyombongkan diri karena dunia kemudian ingat kepada tujuan hidupnya, yaitu beribadah dan taat kepada Allah Swt.
Oleh karena itulah, pada ayat selanjutnya diingatkan oleh Allah, janganlah seperti itu karena akan berakibat buruk dan membawa kesengsaraan dalam hidup di dunia dan akhirat. Bahkan, dalam ayat selanjutnya ditegaskan dengan keterangan bahwa jika seseorang itu yakin dengan kehidupan akhirat, mestinya sikap dan tindakannya tidak seperti itu.
Peringatan tersebut kemudian dipertegas lagi bahwa kelak dia pasti akan mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatannya dan kelak dia akan mempertanggung jawabkan atas apa yang telah dilakukannya. Itulah gambaran secara umum kandungan surat tersebut.
Harta dan Anak adalah Ujian Dari Allah.
Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa manusia memiliki kecintaan yang besar kepada harta dan anak. Hal ini tergambar dalam Q.s. Ali Imran ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ ١٤
Artinya: “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
Dalam Q.s. ali Imran ayat 14 tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa wanita, anak-anak, harta benda merupakan kesenangan dan hiasan atau sesuatu yang menyenangkan jika dipandang manusia. Namun, dalam akhir ayat diatas ditegaskan bahwa semua kesenangan tersebut hanyalah kesenangan duniawi (yang bersifat fana’), sedangkan disisi Allah Swt terdapat kebahagiaan yang lebih indah dari kebahagiaan, kesenangan yang ada di dunia ini.
Penjelasan dari surat Ali Imran ini sangat relevan dengan surat al-Takatsur yang berisi sindiran kepada orang-orang yang terlalu berbangga diri dengan dunia. Isi dari surat al-takatsur ini sangat penting untuk dipahami dengan seksama, dan sangat relevan untuk diamalkan dalam kehidupan.
Sikap berlomba-lomba didalam mengumpulkan harta, sering menjadikan orang menghalalkan segala macam cara untuk memperolehnya, tanpa memperhatikan sisi kehalalannya, keberkahan dari harta yang diperolehnya sehingga dia hanya memperhatikan kuantitas dari harta tersebut tanpa memperhatikan kualitasnya.
Tindakan sebagaimana diatas, akan membawa dampak yang sangat besar keburukannya bukan hanya di akhirat namun juga di dunia. Sikap terlalu membangga-banggakan harta, akan menjadikan dia merendahkan orang lain yang secara kuantitas harta berada dibawahnya. Dari sikap itu kemudian akan muncul kecemburuan sosial yang akan berujung pada tindak kriminalitas.
Sikap terlalu bangga dengan harta juga akan menjadi sebab kekikiran dan kebakhilan, sehingga orang yang kaya tidak akan memiliki kepedulian lagi dengan kaum fakir dan miskin, anak yatim dan kaum-kaum tertindas. Hal itu akan memicu kejahatan sosial, seperti mencuri, merampok, dan lain sebagainya.
Tindakan terlalu membangga-banggakan anak juga akan berakibat buruk dalam kehidupan, yakni sikap yang menganggap anaknya yang paling baik, paling pandai, dan lain sebagainya sehingga akan merendahkan anak orang lain. Sikap itupun juga akan memicu permusuhan dalam masyarakat karena secara naluri orang tua tidak mau jika anaknya dihina oleh orang lain. Sikap tersebut akan membawa dampak putusnya silaturahim dan persatuan dalam masyarakat sehingga tatanan sosial kemasyarakatan pun akan menjadi tidak teratur.
Padahal jika semua dikembalikan kepada penjelasan-penjelasan al-Qur’an, baik harta ataupun anak merupakan ujian kehidupan yang harus disikapi dengan tepat. Banyak ayat al-Qur’an yangmengingatkan tentang hal tersebut. Misalnya, peringatan Allah Swt agar janganlah harta benda dan anak menjadikan kita lalai dari mengingat Allah Swt, sebagaimana yang tersurat dalam Q.s. al-Munafiqun: 9. “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi”.
Meskipun, memang dalam al-Qur’an terdapat pula penjelasan bahwa harta dan anak merupakan perhiasan hidup yang menyenangkan di dunia, namun penjelasan itu selalu saja diiringi dengan penjelasan bahwa amal shaleh, jauh lebih baik dari itu semua untuk kehidupan di akhirat. Sebagaimana yang disebutkan dalam Q.s. al-kahfi: 46.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاوَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا ٤٦
Q.s. al-kahfi: 46 dijelaskan pula, “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
Jika diperhatikan ayat diatas, sangat jelas bagaimana Allah menjelaskan bahwa harta-harta dan anak-anak selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan dalam pandangan manusia. Dengan kata lain, manusia selalu memiliki kecenderungan untuk menyukai harta dan anak.
Pemahaman diatas, diperoleh dari struktur kalimat dalam ayat diatas yang menggunakan “jumlah ismiyyah” yang mengandung makna “al-Tsubut wal istimrar”, yakni menunjukkan sesuatu yang bersifat tetap dan berkelanjutan.
Kedudukan huruf wawu ‘athaf dalam kalimat “الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا” menunjukkan makna “al-ziyadah” sehingga memberikan makna bukan hanya harta yang menjadikan seseorang menjadi senang, bukan pula anak-anak saja yang menjadikan seseorang menjadi senang. Namun, keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, maka “zinatul hayat al-dunya” tidak sempurna.
Berbeda dengan huruf wawu yang berada pada kalimat “وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا”. Huruf wawu dalam kalimat tersebut,
Menurut al-Biqa’i, maksud dari “الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ” adalah “amal-amal kebaikan yang murni dilakukan hanya mengharap ridha Allah Swt”. (Tafsir al-Biqa’i).
Namun, harus diingat bahwa harta dan anak yang tidak diarahkan ke jalan Allah Swt, justru akan menjadi bencana bagi kedua oleh tuanya. Oleh karena itulah, maka dikatakan bahwa harta dan anak merupakan ujian dan amanah yang harus dikelola dan diarahkan, dididik, digunakan dengan baik sesuai dengan aturan Allah Swt. Dengan kata lain, bagaimanapun senang dan bahagianya kita terhadap harta, jangan sampai melalaikan kita dari Allah.
Seseorang akan mulia karena hartanya, namun seseorang jika akan sengsara karena hartanya. Begitu pula, seseorang akan terangkat derajatnya karena anaknya dan dapat pula mengalami kesengsaraan hidup karena anaknya pula. Semuanya tergantung dari bagaimana dia mengelola harta dan anak tersebut sehingga menjadi harta yang barakah dan anak yang shaleh yang akan menjadi jalan atau sarana kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Disinilah maka penting seseorang memiliki sikap zuhud, qanaah dan syukur.
Zuhud, Syukur dan Qanaah sebagai kunci Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Sikap zuhud adalah sikap ridha dengan apa yang yang telah ada dan tidak risau dengan apa yang tidak ada. Sikap qanaah memiliki makna yang hampir mirip dengan zuhud namun berbeda. Qana’ah adalah sikap merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Dalam penjelasan yang lain dikemukakan oleh Hadarah Rajab, Qana’ah adalah menemukan kecukupan didalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tidak ada, merasa cukup dengan apa yang diterima dan telah dimiliki. (Akhlak Sufi, h. 163)
Dengan penjelasan diatas, dipahami bahwa orang yang zuhud tentu dia merupakan orang yang qana’ah. Sikap zuhud dan qana’ah akan menjadikan seseorang selalu bersyukur atas segala sesuatu yang diberikan Allah kepadanya.
Sikap zuhud, qanaah, dan syukur merupakan hal-hal yang akan mendatangkan ketentraman dalam diri seseorang. Karena dengan sikap-sikap itu, seseorang tidak akan merasa apa yang terjadi pada dirinya sebagai sebuah beban berat. Namun, dia akan merasa bahwa apapun yang terjadi pada dirinya, dijalankannya sebagai suatu proses menuju ridha Allah Swt.
Menjadikan Dzurriyah dan Kekayaan sebagai Sarana Menuju Allah
Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk menjadi orang yang kaya, hidup mewah dalam kehidupan dunianya. Islam justru sangat mengecam sikap malas yang membawa akibat pada kesengsaraan dan kemiskinan dalam hidup.
Islam sangat menekankan pada kesungguhan dalam bekerja, berusaha untuk mendapatkan rizki yang halal dan barakah untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Bahkan, dalam hadis dinyatakan bahwa orang yang bekerja mencari nafkah disamakan dengan berjihad di jalan Allah.
Disisi lain, ajaran Islam juga mengingatkan agar seseorang tidak sembrono dalam mencari rizki dan memanfaatkan rizki yang telah diperolehnya. Diharapkan rizki tersebut diperoleh dari cara-cara yang sesuai dengan aturan syariat dan ditasharufkan pula sesuai dengan aturan syariat. Itulah rizki yang akan membawa keberkahan dalam kehidupan seseorang.
Harus dipahami bahwa harta dan kekayaan merupakan ujian bagi manusia. Dalam hal ini, Rasulullah Saw mengingatkan, “Dari Ka`ab bin `Iyadh, dia berkata: “Rasulullah Saw telah bersabda: “Setiap umat ada ujian (fitnah) dan ujian bagi umat ini (umat Muhammad Saw) adalah harta” (HR. Tirmidzi)
Begitu pula dengan anak dan keturunan. Islam tidak melarang seseorang memiliki banyak anak. Namun, yang menjadi perhatian Islam bukanlah kuantitas anak. Namun kualitas dari anak yang menjadi amanah orang tua tersebut. Hal itu terbukti bahwa yang akan menyelamatkan kehidupan orang tua bukanlah banyaknya anak, namun anak yang secara kualitas merupakan anak yang baik, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya serta selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Oleh karena itulah, dalam Islam bukan hanya kuantitas dzuriyah yang diperhatikan namun lebih kepada bagaimana mendidik anak dan keturunan tersebut menjadi keturunan yang baik (shaleh atau shalihah). Apalah artinya memiliki anak yang banyak namun semuanya ahli maksiat. Tentu akan lebih baik memiliki anak yang secara kuantitas sedikit namun secara kualitas sangat membanggakan.
Salah satu dari kekurang tepatan sikap orang tua masa sekarang adalah pandangan mereka terhadap kualitas anak. Orang tua terkadang hanya memperhatikan kualitas secara akademik namun tidak atau kurang memperhatikan kualitas secara spiritual. Sehingga, pendidikan anak bukan ditekankan pada nilai-nilai moral, namun hanya sebatas pada nilai akademik. Hasilnya, anak menjadi orang yang pandai secara akademik namun kurang atau bahkan tidak memiliki kekuatan moral dan spiritual yang baik. Padahal, kekayaan (harta benda) dan keturunan (dzurriyah) yang akan menyelamatkan adalah kekayaan yang selalu diinfakkan di jalan Allah sehingga dapat bernilai jariyah dan anak yang menyelamatkan adalah anak yang shaleh yang selalu berbuat baik kepada orang tuanya baik masih hidup ataupun orang tua sudah tidak ada. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang menjelaskan terputusnya amal anak adam jika telah meninggal dunia kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa terdapat tiga hal, yaitu Ahlinya (keluarganya), hartanya dan amalnya. Harta dan amal akan kembali sedangkan yang kekal menemaninya adalah amalnya. (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik)
Dari penjabaran diatas, dapat dipahami bahwa harta yang akan menyelamatkan adalah harta yang diamalkan, diinfaqkan, dishadaqahkan di jalan-jalan yang diridhai Allah karena hal itulah yang akan menjadi jariyah.
Kesimpulan atas kandungan surat al-Takatsur itu adalah peringatan bagi orang yang hanya memperhatikan pada materi, menumpuk harta kekayaan, memperbanyak keturunan, namun dia lalai akan tanggung jawab dan amanahnya atas harta dan anak keturunan. Sehingga, didunia dan akhirat dia mengalami kerugian yang besar. Wallalu a’lam bish-shawab.
Post a Comment